Teater Sopo 4 Festamasio

Tujuh belas tahun bukanlah sebuah rentang yang singkat. Memasuki usia ini adalah sama artinya dengan menemu sebuah fase pendewasaan. Di mana subyek yang bersangkutan diharapkan akan lebih bijaksana dalam menyikapi detak-detak alur kehidupan. Pun demikian juga halnya dengan Teater Sopo. Seiring perjalanan waktu, Teater Sopo telah menggoreskan banyak jejak dan tak pernah berhenti mencoba hal-hal baru dalam alur kehidupannya. Dan bersamaan dengan proses kehidupan yang menuntut pembuktian eksistensi diri, Teater Sopo terus berusaha berjuang untuk selalu mencipta dan menggoreskan kata 'ada'.

Festival Teater Mahasiswa Nasional (Festamasio) adalah kegiatan temu karya dan silaturahmi kelompok teater kampus seluruh Indonesia, yang digelar sebagai wujud eksistensi dan kontribusi teater kampus dalam perkembangan seni teater di Indonesia. Kegiatan yang diadakan setiap dua tahun sekali ini pertama kalinya diselenggarakan pada 2001 di Samarinda, Kalimantan Timur. Kemudian selanjutnya, Festamasio II diadakan di Makassar, Sulawesi Selatan. Sementara Festamasio III digelar pada tahun 2005 di Yogyakarta. Dalam gelaran yang difasilitasi oleh Teater Gadjah Mada UGM tersebut, Teater Sopo berhasil meraih penghargaan MANAGEMEN PRODUKSI TERBAIK. Hal ini menjadi semacam lecutan dan alarm pengingat bagi Teater Sopo, untuk selalu meningkatkan kualitas dalam karya-karya selanjutnya.

Dan kali ini, setelah melalui tahap seleksi dari 42 calon peserta Festamasio IV, Teater Sopo berhasil lolos tahap kuratorial yang terdiri dari kurasi video dokumentasi dan naskah pementasan. Hal tersebut berarti Teater Sopo berhak mengikuti serangkaian kegiatan Festamasio IV di Jakarta pada tanggal 27 Februari - 6 Maret 2009 mendatang.

Naskah yang akan diangkat dalam festival tersebut adalah Anak Angin. Naskah ini sendiri adalah sebuah karya dari anggota Teater Sopo, Hendro Prabowo. Sebelumnya naskah ini pernah dipentaskan dalam rangka Pentas Produksi XV Teater SOPO dengan judul Anak Angin Sang Duta di Teater Arena TBJT Surakarta (5 September 2007), Sragen (7 September 2007), dan Salatiga (9 September 2007). Sementara naskah Anak Angin yang rencananya dipentaskan di ajang Festamasio IV mendatang, sebelumnya telah dipentaskan di Teater Arena TBJT pada 25 November 2007 dalam gelaran Panggung Seni Seribu Bunga.

Mengapa Anak Angin? Mungkin pertanyaan ini yang akan singgah di dalam benak. Pada hakekatnya pemilihan naskah pementasan ini bukanlah sebuah tindakan asal-asalan. Anak Angin merupakan adaptasi penafsiran dari kisah pewayangan Ramayana, Anoman Duta. Alur, nama tokoh, serta setting lokasi dalam cerita ini hampir sama dengan kisah yang terceritakan dalam Anoman Duta. Hanya saja dalam penafsirannya, Anak Angin menganut konteks kekinian. Di mana isu lingkungan hidup dan tema humanisme dimasukkan sebagai tema sentral cerita. Hal ini sejalan dengan perkembangan jaman saat ini, yang menuntut pentingnya pemberdayaan sifat-sifat kemanusiaan dan tanggungjawab kita sebagai manusia. Hal inilah yang menjadi kunci penggarapan Anak Angin dalam Festamasio IV mendatang.

Proses Anak Angin kali ini disutradarai oleh Yonek d'Nugroho, yang sebelumnya juga menyutradarai pementasan Anak Angin Sang Duta. Sementara para aktor yang terlibat di dalamnya adalah Rudyaso Febriadhi (Anoman), Wahyono (Saksadewa), Putra Lawu Perdana (Indrajit), Noviana Rahmawati (Emban Limbuk), Alief Pandu Wirawan (Rama Wijaya), Yohana Wahyu Purbasari (Trijata), dan Wury Febrianingrum Suyono (Dewi Sinta). Sedangkan di belakang panggung ada Destina Nur Rakhimawati yang bertindak sebagai Pimpinan Produksi, Anggo Anurogo (Stage Manager), Noer Apriyana (Penata Rias & Kostum), R. Agustinus Rudy Indra Gunawan (Penata Musik), Sangaji Surahmat (Penata Set & Property), Reny Kistiyanti (Penata Lampu), Listyo Budi Santoso (Penata Adegan Laga), dan Sari Wuryani (Divisi Umum)*.


*Donasi untuk Teater Sopo 4 Festamasio bisa dikirim melalui:
Rekening BCA No. 0094741293 (KCU SEMARANG)
a/n. SETYO ANDI SAPUTRO
Informasi lebih lanjut hubungi Andik di kiri_society@yahoo.co.id

MOHIK

oleh : Hendro Prabowo

Mohik is son of Gudhel, anaknya Gudhel. Pipinya tembem dan bibirnya suka ngowoh. Rambutnya njegrak tidak karuan, dari situlah dia mendapat julukan Mohik. Pada awalnya Mohik adalah bocah yang clingus. Tapi selepas slup – slupan rumah Manang, perkembangan Mohik sedikit berbeda. Dia bukan bocah clingus lagi. Pemberani dan penjelajah. Setiap sudut rumah dan perkarangannya yang baru sudah habis ia jelajahi dengan tiada bosan (tapi tetap dengan bibir yang ngowoh). Setiap bertemu dengan kawan – kawan orang tuanya, dia tidak pemalu lagi. Langsung nemplok dengan menggemaskan. Rupanya ia mulai mengenal emosi – emosi yang baru.

Sebagai seorang penjelajah, Mohik mempunyai sekondan. Anak tetangga yang seumuran dengan Mohik. Kemana – mana selalu berdua, bermain pun berdua. Siang itu pun dia sedang terlihat bermain dengan kameradnya di teras rumah. Sedangkan ayah ibunya sibuk meladeni dan becengkerama dengan para tamu. Seperti layaknya para penjual jaman dulu. Sesekali para orang tua melirik ke teras untuk mengawasi. Tiba – tiba kami dikejutkan dengan suara perkelahian di teras rumah. Rupanya Mohik tengah berkelahi dengan kameradnya. Mengejutkan memang, anak sak precil itu sudah bisa berkelahi. Rupanya mereka mulai mengenal emosi – emosi yang baru.

Segera saja Ibunya Mohik ingin melerai kedua anak itu. Tapi dicegah oleh Gudhel. “ Nanti nak berhenti sendiri “, begitu ujar Gudhel. Tentu saja perkelahian itu berhenti sendiri. Si anak tetangga a.k.a si sekondan a.k.a sang kamerad lari ke rumahnya sambil menangis. Mohik sendiri langsung nemplok Ibunya dengan mewek. Si Ibu langsung menenangkan Mohik. Para tamu cuma tersenyum. Bapaknya cuma nyengir. Agak khawatir juga melihat peristiwa itu dan menilik reputasi Gudhel dalam menjalankan Teater SOPO dulu.

Ketika ada anak buah yang sedang menghadapi permasalahan organisasi, Gudhel selalu memberi solusi yang menyesatkan. Setelah si anak buah berhasil keluar dari permasalahan, oleh Gudhel ia beri permasalahan baru dan solusi baru yang menyesatkan pula. Hingga anak buahnya bosan minta petunjuk pada dirinya. Jangan – jangan metode ini yang ia terapkan pada anaknya, si Mohik. Tapi tidak rupanya, Gudhel mrenahke mana yang salah dan benar pada Mohik. Kalau salah harus sadar akan kesalahan dan bertanggung jawab. Kalau benar harus dilabuhi sampai saat terakhir. Let them taste the sweet of blood shall they know the bitter of pain.

ABSURD

Gudhel saat ini sedang membangun sebuah warung makan kecil di perkarangan depan rumahnya yang baru di Manang. Agar suasana pedesaan di daerah sekitarnya menjadi lebih regeng, lebih ramai, begitu katanya saat ditanyai tentang alasan. Pembangunan warung sudah hampir selesai ketika kami berbincang sambil menikmati sore. Sore yang indah tentu saja. Bau persawahan yang khas. Suara cenggeret. Lanskap persawahan yang membentang luas. Ufuk barat seperti sedang dibakar merahnya matahari. Awan – awan kelabu seperti asap besar yang membumbung. Pecikan apinya membuat langit tertoreh oleh warna lembayung. Sedikit kebahagian di senja hari.

Tapi perasaan bahagia ini menjadi canggung ketika tema perbincangan kami adalah tentang para petani padi. Pola tanam yang salah kaprah. Harga yang terpaut jauh antara gabah dan beras. Kebijakan yang salah. Sistem pengijon. Bantuan mesin penggiling yang tak pernah sampai ke tangan petani tapi malah dimiliki oleh para pengijon. Bureaupathology yang akut. Pungli di jalanan. Sistem kios beras di pasar tradisional. Belum lagi tentang masalah antri. Petani padi adalah manusia antri. Membajak sawah dia antri. Antri benih. Antri pengairan. Antri pupuk. Antri segala macam.

Inikah perasaan absurd itu ? Bagi Albert Camus kebahagiaan dan absurditas adalah dua putra dari satu bumi. Keduanya tidak terpisahkan. Salah bila dikatakan bahwa kebahagiaan lahir dari penemuan absurd. Bisa juga terjadi bahwa perasaan absurd ditimbulkan oleh kebahagiaan. Itukah yang dirasakan oleh para petani padi ? Mungkinkah para petani padi merupakan gambaran dari sosok manusia absurd ?

Bagi Camus, aktor pada umumnya bukanlah manusia absurd. Melainkan manusia melalui jalan hidup absurd. Manusia absurd mulai pada saat manusia sehari – hari berhenti, ketika dia tidak lagi mengagumi sebuah permainan drama. Masuk dalam kehidupan – kehidupan itu, merasakannya dalam keanekaragamannya. Dia benar – benar memainkan hidup itu. Mungkinkah para petani adalah manusia absurd ? Berperan sebagai sang pemilik sekaligus budak. Manusia ekonomi dan manusia antri. Yang marjinal dan mayoritas. Petani sebagai manusia absurd atau tidak, selayaknya para aktor belajar kepada para petani.
ditulis oleh :
Hendro Prabowo

Workshop Keproduksian & Dasar Artistik

Teater Sopo akan membuat workshop tentang keproduksian dan dasar artistik dalam waktu dekat ini. Tepatnya besok pada tanggal 4-5 Desember 2008 di Ruang 3 Fisip UNS yang akan dilaksanakan pada pukul 16.00 WIB sd selesai. Workshop akan diikuti oleh seluruh anggota teater Sopo.
Kegiatan ini dilaksanakan sebagai persiapan untuk pentas produksi dan persiapan mengikuti Festival Teater Mahasiswa Nasional (Festamasio) di Jakarta akhir bulan februari 2009 mendatang. Pada kegiatan ini akan di berikan materi seputar keproduksian yang antara lain adalah manajemen pentas, tim produksi, make up dan kostum, dan stting serta lighting. Adapun para pengisi materi antara lain Ade Mindarwan (keproduksian) yang telah banyak pengalaman membantu keproduksian film-film nasional seperti "Naga Bonar jadi 2", "Liburan Seru", "Saus Kacang" dll. aNur Apriyana (make up dan kostum), dia adalah mantan ketua teater sopo yang sekarang menjadi wanita karier di bidangnya yaitu make up dan kostum artis. Untuk materi manajemen produksi akan di pandu oleh Tanir, seorang eksekutif muda di dunia perbankan yang dulunya juga seorang aktor dari teater sopo. Sedangkan setting dan lighting akan diserahkan kepada Yonex. Dia adalah sutradara, aktor dan juga pekerja tata rupa panggung dan konseptor penataan panggung yang telah mempunyai banyak pengalaman.
Setelah selesai workshop tersebut, para peserta akan diberikan tugas untuk membuat sebuah karya yang akan dipentaskan dalam ajang aktualisasi. Acara aktualisasi itu sendiri akan dilaksanakan besok pada tanggal 17 Desember 2008 yang akan bertempat di FISIP UNS, pada jam 19.00 WIB.
Target dari acara ini adalah bahwa anggota teater sopo memahami tentang keproduksian dan bagaimana menjalankan suatu proses pembuatan karya hingga sampai pada penyajiannya.

Penyaksi

oleh : Hendro Prabowo

Pada sebuah proses, seorang pelatih sengaja membiarkan para aktor untuk mengekspresikan bentuk kesenian mereka masing – masing sebebas - bebasnya. Sesi pertama latihan difokuskan per individu. Sesi kedua pada kelompok – kelompok kecil. Di sesi ketiga mereka membentuk satu kelompok besar. Tujuan dari latihan ini agar para aktor dapat berimajinasi sekreatif mungkin.
Si pelatih sudah berharap banyak pada para aktor. Bayangkan saja, sekelompok kecil seniman diperbolehkan melakukan apa pun yang mereka suka ! Tapi yang terjadi adalah latihan yang diliputi dengan kebingungan dan ketakutan, yang pada akhirnya membosankan. Yang mengejutkan adalah ternyata si pelatih juga dihinggapi rasa takut ketika memimpin latihan tersebut. Hal ini terjadi ketika salah seorang aktor memanjat pagar talud dan berteriak – teriak diatasnya. Si pelatih takut jika sang aktor sampai terjatuh dan ngglundhung ke bawah.
Latihan itu tidak saja menyadarkan para aktor, tapi juga si pelatih. Bahwa mereka terlalu lama hidup dalam dunia harmoni. Menurut Nietzsche senimanlah yang seharusnya sanggup hidup dalam alam disharmoni. Dialektika terus menerus. Proses kreatifitas tiada henti. Kegembiraan tiada tepi. Sedangkan para filsuf hanya cocok untuk hidup di alam harmoni. Penuh keteraturan yang njlimet dan menyesakkan.
Bagi si pelatih pribadi, rasanya musykil untuk tetap terus di jalan seni. Tapi rasanya juga ngaya – wara jika mengambil jalan harmoni. Dia lebih memilih untuk bergabung dengan kerumunan di utara Stasiun Purwosari itu. Jika senggang mereka menghabiskan sore dengan menyaksikan kereta yang lalu – lalang di stasi kecil itu. Sambil membawa anggota keluarga mereka yang masih kecil – kecil. Jika ada uang lebih, bakmi thoprak layak untuk dijadikan kudapan. Untuk si kecil, mainan kitiran dari plastik yang berbunyi ketika berputar. Celoteh – celoteh riang muncul ketika mulut – mulut kecil itu nyenggaki kereta yang lewat. Keretanya yang bagus, kencang lajunya. Masinis yang memainkan peluit kereta. Penumpang yang berpakaian indah. Dan ketika matahari sudah tertelan oleh cakrawala, mereka pulang sambil membawa kenangan tentang kereta – kereta yang lewat di stasi kecil itu.

Refleksi Tujuh Belas Tahun





Kita ibaratkan, teater Sopo ini adalah sebuah rangkaian kereta api, Sopo Exspres, yang berjalan melewati stasiun demi stasiun. Belum tahu kapan dan dimana stasiun terakhir itu akan sampai. Proses yang dilalui memang tak mau berhenti.
Pada tanggal 02 Oktober 2008 kemarin adalah stasiun ke 17 yang dilewati kereta ini. berhenti sejenak untuk mengganti onderdil-onderdil yang rusak, mengisi bahan bakar dan cek seluruh mesin untuk melakukan perjalanan menuju ke stasiun berikutnya. Penumpang baru Sopo Exspres sudah mulai masuk, sedangkan di sisi yang lain ada pula penumpang yang telah turun untuk berhenti di stasiun tersebut. Ya, penumpang dapat naik dan turun di stasiun mana yang ia sukai sesuai dengan tujuan mereka.
Tak terasa mungkin bagi para arsitek pencipta Sopo Expres ini, ternyata kereta mereka telah melampaui 17 stasiun dalam kurun waktu 17 tahun. Waktu yang tidak singkat. Kalau manusia, dulunya anak-anak, sekarang telah berinjak remaja. Masa remaja adalah masa yang ceria. Penuh kenangan indah dan suka cita. Namun apakah itu yang mau di raih? Kalau saya akan lebih senang menganalogikan sebagai perubahan PJKA menjadi PT KAI, lompatan yang cukup jauh. Dari jawatan menjadi sebuah perseroan dengan tanpa menjadi BUMN terlebih dahulu.
Ya, profesionalitas adalah kuncinya. Paling tidak adalah pembelajaran terhadap profesionalitas dan tanggung jawab yang lebih terhadap apa yang telah direncanakan bersama. Dengan demikian diharapkan dapat menjadi sarana yang mampu mengantarkan para penumpangnya pada apa yang akan menjadi tujuannya lebih baik lagi.
Oh ya, sekedar mengingatkan kembali untuk selanjutnya biar terus terbaca dalam sejarah, tapi ini adalah hanya bagian yang sangat kecil sekali dalam sejarah Sopo Exspres. Para masinis yang telah membawa Sopo Exspres adalah :
Nugroho Adi ( Gondrong ) ; tahun 1991 – 1993
Priyanto ( Gudhel ) ; tahun 1993 – 1995
Chafid Sukarno ( Gembok ) ; tahun 1995 – 1997
Hendy Mukhtarudin ( Gendul ) ; tahun 1997 – 1998
Nur Hidayat Dwi Pramono ( Cenger ) ; tahun 1998 – 1999
Bagus Madi Purwantyo ( Si Bhe ) ; tahun 1999 – 2000
Suyanto ( Kombor ) ; tahun 2000 – 2001
Sidhi Nugroho ( Hoho’ ) ; tahun 2001 – 2002
Agung Maryono ( Flow ) ; tahun 2002 – 2003
Nur Wahyuni ( Uni ) ; tahun 2003 – 2005
M. Wahid Rahmatullah ( Wahid ) ; tahun 2005 -2006
Noer Apriyana ( Yana ) ; tahun 2006 – 2007
Eko Novantoro ( Eko ) ; 2007 – 2008
Alief Pandu W. ( Ahong ) ; 2008 - sekarang


Dari tahun ke tahun dan dari cerita yang pernah saya dengar, perubahan-perubahan sudah banyak terjadi di lingkungan Sopo ini.Mulai dari loyalitas, masa aktif kuliah, kebijakan fakultas dan universitas, program kerja, senioritas dan lain sebagainya. Semua itu menjadi suatu masalah yang sangat komplek sekali jika mau dibicarakan panjang dan lebar. Semuanya telah menjadi tenaga pendorong dan juga sekaligus menjadi penghambat laju dari proses perjalanan kereta Sopo Expsres ini. Dengan permasalahan yang sama namun waktu yang berbeda perlu penyelesaian yang tidak sama. Setiap kendala dan permasalahan hendaknya harus ditanggapi dengan baik dan bijak dengan tanpa menghilangkan rasa seni dan semangat proses yang kita pegang. Setiap masa punya cirinya sendiri. Sehingga dengan kondisi seperti sekarang ini, jalinan antara alumni dan anggota sangat erat menimbulkan banyak kemungkinan. Yang diperlukan adalah adanya dialog yang baik setiap saat sehingga setiap masalah dapatdipecahkan dengan solusi yang tepat. Masinis maupun mantan masinis, para penumpang, dan para mantan penumpang yang telah turun di stasiunnya masing-masing dapat kembali lagi naik dalam gerbong ini untuk bersama-sama membawa kareta Sopo Exspres ini ke tujuan berikutnya.


Stasiun Solo, 18 Oktober 2008

Kombor

Uwiek & Agung Flow




Selamat sebelumnya, satu lagi tali ikatan perkawinan antar anggota sopo akan terjalin. Yaitu Uwiek dan Flow yang dulunya sangat aktif di sopo hingga sekarang meski jarak mereka sekarang jauh di jakarta. Namun kita yakin jika mereka masih di solo mereka akan terus berproses bersama sopo.


Undangan

Bagi teman-teman teater Sopo, saudara kita, mas Kubro, akan berbagi kebahagiaan dengan akan melangsungkan akad nikah. Tanpa mengurangi rasa hormat dari apa yang akan di niatkan, ini sebagi undangan bagi rekan-rekan yang akan memberikan doa dan restunya bagi kedua mempelai.


Orde Tabung


Terima kasih kepada semua yang telah ikut berpeluh keringat dan kesah kesal tiada terkira. Sehingga satu lagi torehan ekspresi kami dapat terselenggara dengan baik, lancar dan tidak ada sambetan setan. Tak ada kata yang dapat kami sampaikan selain banyak...banyak...dan banyak terima kasih.

Kami berharap apa yang kami torehkan hari ini mampu memberikan suatu hiburan dan kalu kami bolek muluk-muluk berharap adalah memberikan warna baru entah dari segi apapun silahkan untuk mengkritisi sendiri-sendiri.

Namun kami tidak akan berhenti sampai di sini, akan masih ada lagi jalan panjang di depan melalui proses-proses kami selanjutnya, karya-karya kami seterusnya dan wajah-wajah baru kami tentunya.....Salam Budaya!!!

Orde Tabung


Latif & Eni

Pagi itu ramai canda mewarnai pertemuan beberapa orang alumni sopo. Mereka saling bertukar cerita dan mengenang kembali masa-masa ketika bersama-sama dahulu. Ya, pagi yang bahagia karena kita dapat berkumpul kembali dan melengkapi kebahagiaan itu, M Rifai Latief telah mempersunting gadis dari daerahnya tempat ia bekerja sebagai PNS, Sragen. Gadis yang menjadi pujaannya itu adalah Eni Woro Setyowati. Mereka berdua berikrar untuk mengarungi bahtera hidup berkeluarga bersama pada tanggal 21 Agustus 2008 di Sragen. Sedangkan acara ngunduh nganten-nya dilangsungkan tanggal 24 Agustus 2008 kemaren.

Mugi-mugi dados keluarga ingkang sakinah mawaddah warohmah....aminn.

Sensasi Merdeka Oleh Putu



Indonesia tidak akan pernah habis untuk dibicarakan. Negara dengan segunung masalah yang sebagian belum tersentuh ujung pangkalnya. Negara yang lahir lewat sekumpulan sejarah dan masa lalu yang banyak diungkit-ungkit lagi. Negara yang berkali-kali dijajah. Negara dengan segudang pertanyaan yang belum terjawab. Salah satu diantara banyak pertanyaan itu adalah : Apakah kita sudah benar-benar merdeka? Sebagian orang tentu tak akan ambil pusing dengan pertanyaan yang tidak jelas untung ruginya bagi mereka. Tapi tentu tak semua orang bisa sadar dengan sebuah kenyataan yang seolah-olah maya : apakah kita sudah siap untukbenar-benar merdeka? Apakah kita sudah siapuntuk berlari jika telah merdeka? Apakah kita sudah siap untuk terbang tinggi jika sudah merdeka? Burung perkututpun akan merasa gamang untuk terbang melarikan diri saat pintu sangkarnya dibuka dengan sengaja oleh Sang Majikan.
Mungkin memang berbeda antara manusia dengan burung perkutut. Akan tetapi wacana itulah yang diangkat oleh Putu Wijaya pada pementasan monolog dengan judul “Merdeka” dalam rangka Sepekan Gelar Seni di Taman Budaya Jawa Tengah di Surakarta(12/8). Putu memaparkan dalam monolognya ( atau bisa disebut juga mendongeng ) bahwa dua pihak yang sepertinya sangat mustahil untuk paham dan mengerti tentang kemerdekaan justru mempertanyakan lewat dialog dan sikap tentang arti, makna, dan hakikat kemerdekaan. Yakni seorang cucu yang masih kecil dan seekor burung perkutut. Seorang cucu bertanya kepada kakeknya yang notabene adalah seorang mantan pejuang pada masanya, dan pertanyaan itu adalah : apakah benar kita sudah merdeka? Sang Kakek terhenyak dengan pertanyaan dari seorang yang tampak lugu di matanya. Dengan aneka ragam penjelasan yang mungkin akan sulit dimengerti oleh cucunya, kakek itu menjawab dengan bergetar disertai rasa ketersinggungan yang mendadak. Cerita yang lain menerangkan kisah seorang juragan perkutut yang hendak memberikan hadiah bagi burung perkutut yang sudah lama dipeliharnya. Hadiah itu tak lain adalah kebebasan atau kemerdekaan untuk Si Perkutut. Pintu sangkarpun dibuka oleh Sang Majikan. Tak dinyana, perkutut ini rupanya tak siap untuk merdeka. Dengan berbagai alas an, Si Perkutut yang telah terbiasa dipenjara dalam sangkar ini benar-benar telah menyatakan diri untuk tak siap merdeka.

Sebagian dari cerita yang diangkat oleh Putu Wijaya dalam monolognya seperti memberikan gambaran bahwa merdeka bukanlah kata putus yang bijak untuk dapat terus melanjutkan hidup. Baik sebagai pribadi maupun sebagai bangsa secara utuh. Merdeka hanyalah kata mula. Merdeka hanyalah sebuah pintu keluar dari penjara keterjajahan. Merdeka hanyaloah sebuah garis start dari sebuah perjalanan panjang dari pribadi, golongan, ataupun bangsa secara keseluruhan utnuk terus melajutkan hidup. Apakah lanjutan dari merdeka? Pertanyaan yang tentunya sederhana dengan jawaban yang semestinya tidak sederhana. Apakah cukup dengan kata syukur? Apakah cukup dengan perayaan dan peringatan? Apakah cukup dengan kerja keras? Belajar? Atau dengan mengungkap rahasia alam tanah air? Menyibak jawaban dari alam semesta Nusantara yang katanya kaya ini? Akan banyak jawaban yang muncul dengan beragam dari lebih 220 juta rakyat yang tersebar di seluruh kepulauan Indonesia. Entah jawaban getir, jawaban naïf, jawaban munafik, atau jawaban sekenanya. Yang jelas Indonesia sebagai bangsa maupun sebagai Negara seyogyanya akan terus belajar, bergerak, dan bekerja untuk membuktikan masih punya nyali untuk melajutkan hidup setelah merdeka. Atau sebagai pembuktian bahwa bangsa ini benar-benar telah merdeka.

Terlepas dari topik merdeka yang dibawakannya, Putu Wijaya sekali lagi telah memberikan pelajaran singkat bagi para aktor yang menyaksikan pertunjukan semalam. Meskipun menurut penulis, Putu sendiri adalah lebih sebagai seorang penulis. Sekali lagi perlu digarisbawahi : Putu Wijaya adalah benar-benar seorang penulis. Baru kemudian dia dikenal sebagai sutradara teater maupun film. Kemampuannya menulis diejawantahkan dalam pentas monolog yang berdurasi lebih kurang satu jam. Dengan kata lain, pentas monolg tadi malam adalah semacam show up dari seorang Putu Wijaya sebagai penulis. Sebuah proses penulisan yang dipentaskan dengan kata-kata dan kalimat spontan. Sebagian kawan menyebut Putu adalah seorang ahli bercerita atau berdongeng. Ini terutama sangat terlihat saat jatah durasi tersisa tujuh menit dan Putu memberikan “bonus” monolog singkat untuk penonton yang tadi malam terasa cukup bergairah menikmati sajian Putu. Kemampuan Putu menguasai teknik keaktoranpun diperlihatkan dengan kemampuannya mengendalikan dan melibatkan penonton dalam pementasan. Putupun secara tersirat juga mengajarkan hidup sehat bagi para seniman. Dengan usia yang telah memasuki 64 tahun, energi dan stamina seorang Putu Wijaya menguasai durasi 60 menit pertunjukan tunggal tak kalah dengan aktor-aktor yang lebih muda.
Merdeka Pak Putu !!!

Rudyaso Febriadhi
Solo, 13 Agustus 2008
foto : kombor



Polynices

oleh : Hedro Prabowo
Tahun ini, bulan Agustus bertepatan dengan bulan Ruwah dalam penanggalan Jawa. Bulan yang paling cocok untuk nyekar, berziarah. Di bulan Ruwah, orang – orang akan pergi berziarah, apa pun landasan filsafat dan etikanya, apa pun alasan dan motivasinya. Berziarah ke tempat – tempat suci, ke makam para orang tua , sanak saudara dan mereka, para sahabat yang mati muda.
Maka tak heran ketika suatu pagi seorang kawan mengajak berziarah. Ke sebuah makam di daerah Karanganyar. Makam yang sepi. Keharuan seperti menggantung di udara. Makam siapa ? “ Seorang yang mati di tahun 48 “, begitu jawabnya. Seperti makam di Kediri ? Seperti Polynices ? “ Ya, hampir seperti Polynices “, katanya.
Hampir seperti Polynices. Seorang tokoh dalam Antigone, sebuah tragedi Yunani karya Sophokles. Sebuah karya sastra yang mendekati kesempurnaan. Tersebutlah satu masa ketika Thebes ditinggal mati oleh Oedipus. Eteocles, sulung dari Oedipus lah yang menggantikan Oedipus. Eteocles ternyata memerintah Thebes dengan tangan besi. Adiknya, Polynices ingin menyingkirkan Eteocles. Kedua bersaudara ini kemudian berperang satu dengan yang lainnya dan sama – sama gugur. Kemudian naiklah Creon, saudara Oedipus, sebagai pengisi singgasana Thebes. Creon ingin mengangkat Eteocles sebagai pahlawan dan mengutuk Polynices sebagai pengkhianat. Seorang pengkhianat tak boleh dikuburkan, mayatnya tergeletak begitu saja habis dimakan binatang buas. Antigone, putri Oedipus, kemudian menguburkan jasad Polynices secara layak apa pun taruhannya, bahkan nyawanya sekalipun.
Hampir seperti Polynices. Sebab yang terbaring pada dinginnya makam di Karanganyar dan Kediri itu bermaksud tidak melawan kuasa yang tiran. Tetapi melawan amnese, kelupaan total terhadap cita – cita luhur berdirinya negara ini. Tak mengapa kalau pada akhirnya mereka dianggap sebagai pengkhianat bangsa. Revolusi memang memakan anaknya sendiri.
Sebelum pulang, sebuah pertanyaan terlintas di benak. Apakah mereka bersedia mati jika mengetahui kalau saat ini, negeri yang mereka cintai ini, menjadi sarang penyakit ? Tak tahu. Tapi yang pasti, kawan, jangan lupa untuk membuat pengharapan dan berdoa pada malam tirakatan. Sebelum bubur merah dan putih dihidangkan, sebelum nasi liwet dimakan. “ ...untuk Indonesia yang lebih baik…“

Uwek Main Musik

oleh : Hendro Prabowo

Tanpa musik hidup merupakan suatu kekeliruan. Begitu tulis Nietzsche dalam Senjakala Berhala. Itu bisa berarti jika kita menginginkan kebenaran selalu melingkupi hidup kita, maka kita harus hidup dengan musik. Atau juga bisa berarti “ kekeliruan “ yang bernama “ hidup “ itu akan menjadi benar jika kita mengenal musik. Secara praksis Konfusius menulis bahwa musik dapat memberi pangaruh baik maupun buruk pada pikiran dan karakter seseorang, dan bahkan pada masyarakat secara keseluruhan.
Mungkin itulah yang ada di benak Uwek ketika dia memutuskan untuk bermain musik dalam pentas Teater SOPO. Lha bagaimana tidak ? Sak jeg jumbleg, manusia satu itu hanya pernah bermusik sekali. Dan yang dimainkannya adalah alat musik bernama “ bedug “. Fals lagi mainnya. Lha kok ini dia das ein, mak bedhunduk, tiba – tiba bermusik ria. Pasti alasannya penuh dipenuhi dengan landasan filsafat yang rumit seperti yang disebutkan di atas tadi. Lha wong Uwek itu termasuk manusia progesif je.
Tidak jelas juga posisi Uwek dalam kelompok musik ini sebagai apa. Apakah memegang alat musik tabuh ? Sekedar urun suara pating gemremeng ? Atau seperti yang dikatakan oleh koordinator musik, Uwek nyekel cagakan mik, memegang tiang penyangga microphone. Lha wong namanya proses menemukan, ya sak kecekele. Kalau hari ini bisanya cuma nyekel cagakan mik ya mbok biar.
Uwek memang ingin berproses menemukan kebenaran melalui bermusik. Kebenaran yang bagi kita semua mahal harganya. Dapatkah Uwek mendapatkan kebenaran dengan bermusik ? Siapkah dia dengan kebenaran yang akan menampakan wujudnya kemudian membuka selubungnya ?
Tapi dalam Sains Girang, Nietzsche juga berkata bahwa kebenaran adalah perempuan. Ada sosok perempuan menarik hati di sana. Wajahnya merupakan perpaduan antara cantik dan manis, muda, penuh semangat dan sedang berproses. Jangan – jangan, Uwek sedang mencari kebenaran tidak lewat musik tapi melalui sosok perempuan. Jangan – jangan….

Memutuskan Pilihan

oleh : dwi marhaeni

Saat ini saya menjadi berpikir,
Apa saja kesempatan yang telah saya lewatkan....
Tepatkah keputusan-keputusan yang saya buat????

Saya yang tidak pernah puas, yang banyak maunya sementara kemampuan saya terbatas, ternyata sangatlah alamiah sebagai manusia. Sebagai manusia memang saya tidak dapat melakukan ataupun mendapatkan semua yang saya inginkan karena keterbatasan-keterbatasan tadi. Karena itu manusia dalam hidupnya harus menentukan pilihan. Yang jarang saya sadari adalah bahwa dalam semua keputusan yang sudah saya tentukan ternyata mengandung biaya atas kesempatan yang hilang (dalam konsep ekonomi: opportunity cost).

Sebagai manusia yang rasional, tentu saja pilihan ditentukan berdasarkan pertimbangan-pertimbangan, dengan membuat prioritas-prioritas. Dan tentunya juga pilihan tersebut merupakan yang terbaik (yang mengalahkan alternatif lain) menurut si pemilih. Kehilangan kesempatan atas pilihan lainnya yang terbaik ini lah si “opportunity cost” tadi. Saat ini saya sedang berpikir (mungkin terbalik), kesempatan apa yang hilang atas pilihan yang sudah saya buat, karena tidak jarang saya melakukan pilihan berdasarkan “feeling” atau “maunya saya saja”. Apakah saya bukan manusia yang rasional?

Misalnya saja, dengan memutuskan masuk ke dalam dunia teater saat menjadi mahasiswa baru di FISIP UNS. Waktu itu saya sama sekali tidak mempertimbangkan apa untungnya buat saya. Yang ada cuma “maunya saya saja” itu tadi. Nah, sekarang saya jadi berpikir... jangan-jangan keputusan itu tidak tepat. Apa ya kira-kira kehilangan saya yang paling besar??? Apakah kehilangan kesempatan memperdalam ilmu Administrasi Negara dengan mengikuti kegiatan yang tentu saja berhubungan dengan disiplin ilmu yang saya geluti itu? atau kehilangan kesempatan untuk lulus cepat yang berarti saya bisa cepat dapat kerja, yang berarti saya cepat naik jabatan, yang berarti tabungan saya cepat banyak, yang berarti saya cepat-cepat mendapatkan yang lainnya.

Akhirnya saya membandingkan kesempatan-kesempatan itu dengan apa yang saya sudah dapatkan. Kesempatan berproses dengan teman-teman di teater (khususnya Teater Sopo). Yang isinya kesempatan berdiri di panggung dengan sorotan lampu, berada di pihak yang menikmati tepukan penonton seusai pentas, kesempatan untuk menjadi seseorang, menyadari betapa kita bisa menjadi orang yang lemah sekaligus hebat, kesempatan untuk tertawa, menangis, bahkan keduanya baik di atas panggung maupun dunia nyata. Kesempatan menyadari kebaikan dan kebusukan hati kita. Kesempatan mengalami ketulusan pertemanan. Kesempatan belajar bertanggungjawab atas segala keputusan saya dan kepercayaan yang diberikan orang lain. Dan kesempatan-kesempatan lainnya yang akhirnya membuat saya tidak menyesali keputusan yang sudah saya buat.

Itu menurut saya, bisa sangat berbeda menurut orang lain. Tentu saja semua nilai atas kesempatan tersebut sangat subyektif, dan memang tidak selalu bisa diukur dengan uang. Keputusan yang saya contohkan tadi memang bisa dibilang tepat untuk saya, sekaligus bisa dibilang keputusan yang egois. Semoga tidak ada penyesalan dalam keputusan-keputusan kita yang egois.

Jakarta, 12 Agustus 2008

Gelar Seni Sepekan TBS 2008


Mulai tanggal 10 sd 15 Agustus 2008 mendatang, Taman Budaya Surakarta (TBS) akan menggelar acara Gelar Seni Sepekan 2008. Gelaran Kesenian ini akan menampilkan berbagai macam kesenian baik tradisi maupun modern yang berasal dari berbagai kota di Indonesia. Akan dihadirkan 24 kelompok kesenian yang diantaranya akan mementaskan seni tari modern, teater, musik dan seni tradisi.

Hanindawan sebagai koordinator acara tersebut menjelaskan tema yang diambil dalam gelaran kali ini adalah mengenai humanisme dan lingkungan, dimana kondisinya saat ini semakin meresahkan. Maka gelar seni ini ingin dijadikan sebagai suatu ruang berekspresi yang diharapkan dapat membantu menggambarkan realitas yang terjadi saat ini dan tentunya untuk suatu tujuan yang lebih baik. Diharapkan pula event ini bisa menjadi ruang publik untuk berekspresi dan sekaligus mengakomodasi berbagai kesian dan budaya lokal.

Selain gelaran seni, ada juga pameran kerajinan batik dan handicraft yang buka selama event ini berlangsung. Stand-stand yang ada sangat beragam yang antara lain ada batik, kerajinan tangan, cinderamata berbagai daerah di Indonesia serta aneka jajanan tradisioal Solo.

Jadwal Acara

Minggu, 10 Agustus 2008
10.30 : Teater Anak-Anak Area-Q, Solo (Teater Arena)
19.30 : Pembukaan Acara Gelar Seni oleh Qua Etnika, Jogja (Pendapa)
20.00 : Musik Amari, Solo (Pendapa)
20.30 : Tari Modern Wied Senjayani, Solo (Pendapa)
21.00 : Tari Yaksojati, Cepogo Boyolali (Pendapa)

Senin, 11 Agustus 2008
16.30 : Sanggar Kotakan, Sukoharjo (Pendapa)
19.30 : Teater Gidag Gidig, Solo (Teater Arena)
20.00 : Kelompok Musik & Tari Kalimantan Barat (Pendapa)
20.30 : WO Ngesti Pandowo, Semarang ( Pendapa)

Selasa, 12 Agustus 2008
16.30 : Sanggar Sekar Mekar, Sragen (Pendapa)
19.30 : Monolog Putu Wijaya, Jakarta (Teater Arena)
20.00 : Musik Puisi Jayagatra, Ungaran (Pendapa)
20.30 : Orkes Keroncong Remaja ;SMA 6, SMA 2 da SMA Yosef Solo (Pendapa)

Rabu, 13 Agustus 2008
16.30 : Santiswara Masjid Nurulhuda, Kentingan (Pendapa)
18.30 : Musik Batik Fashion On Street (Depan Galery)
19.30 : Teater TOKEK, Solo (Teater Arena)
20.00 : Musik Calung Astuti, Purwokerto (Teater Bong)
20.30 : Tari Modern Kelompok Independent Expression, Solo (Pendapa)

Kamis, 14 Agustus 2008
16.30 : Musik Batik On Street, Batik Semar Solo (Depan Galery)
19.30 : Teater Kail, Jakarta (Teater Arena)
20.00 : Tari Jaranan Karjosono, Sawangan Magelang (Depan Galery)
20.30 : Wayang Kulit Jumat Kliwon (Pendapa)

Jumat, 15 Agustus 2008
16.30 : Jathilan Turangga Muda, Klaten (Pendapa)
18.30 : Capoera Festival, Solo (Pendapa)
19.30 : Komposisi Musik AJI, Banyumas (Pendapa)
20.00 : Musik Yamking, PMS Solo (Depan Galery)
20.30 : Kethoprak Gabungan Surakarta (Pendapa)

NB : Semua Acara GRATIS
foto: http://www.joglosemar.co.id/

Pagupon Palupi #2




Sungguh kesempatan yang baik sekali. Dalam kegiatannya yang ke dua ini Pagupon (Paguyuban Minggu Pon) dapat bersilaturahim ke daerah Bayat Klaten, tepatnya di rumah tinggal temen kita Tunjung atau TeJe (3/8). Sambutan yang hangat dan suasana kekeluargaan terjalin ketika teman-teman yang kebanyakan dari Solo datang berkunjung ke rumahnya. Sebagian besar dari yang hadir baru pertama kali berkunjung ke rumah TeJe.

Dalam pertemuan itu antara lain dibicarakan agenda terdekat Teater Sopo yaitu pentas produksi tanggal 30 Agustus 2008 mendatang, kemungkinan untuk membentuk kelompok teater, dan yang ketiga adalah hajatan waktu terdekat dari anggota Pagupon. Tentang pentas produksi yang di bahas hanyalah sosialisasi kepada para alumni dari ketua teater sopo, Eko, yang kebetulan juga hadir pada pertemuan kali itu. Mengenai topik pembahasan selanjutnya tentang kemungkinan membuat kelompok teater sendiri, cukup memberikan perhatian sedikit pada anggota Pagupon. Artinya bahwa tidak akan menutup kemungkinan bahwa Pagupon akan membentuk teater. Pada kesempatan yang baik itu pula, Prend kita Rifai Latif mengumumkan akan melepasa masa lajangnya besok pada tanggal 21 agustus 2008 di Sragen dan akan mengadakan tasyakuran di Klaten di rumah tinggalnya pada tanggal 24 Agustus 2008 (tempat dan waktu yang pasti menyusul).

Kemudian untuk putaran selanjutnya, Pagupon akan mengadakan pertemuan pada bulan puasa mendatang tanggal 7 September 2008 bertempat di Rumah Sohib kita Handy "Gendul" di daerah Jaten Karanganyar, sambil berbuka puasa bersama.

Selamat bagi teman-teman yang berbahagaia dan bagi seluruh anggota Pagupon terutama yang belum sekalipun datang pada pertemuan arisan, kita tunggu kedatangan teman-teman di rumah tinggal Handy.


Don't miss it...!!!

Pertanyaan Tentang Cinta

oleh Hendro Prabowo

Bagaimana rasanya jatuh cinta di atas panggung teater ? Apakah rasanya sama dengan jatuh cinta di luar panggung, di dunia nyata ? Jika beda, dimana bedanya ? Bagaimana hukumnya, jika, aktor dan aktris yang berperan sebagai sepasang kekasih mempersonifikasi pasangan mereka masing - masing di dunia nyata terhadap lawan mainnya ? Artifisialkah cinta mereka ? Atau memang harus begitu ?

Di dunia teater sendiri, sama atau tidak, rasa cinta yang dialami oleh karakter didalamnya ? Sebelum mengenal Juliet, Romeo telah jatuh cinta dengan seorang wanita yang bernama Rosalina. Dunia Romeo seakan runtuh ketika Rosalina menolak cinta Romeo. Sepanjang siang Romeo selalu meratap dan pada malam – malam panjang yang melelahkan, dia masih terjaga dengan ratapannya yang pilu. Kemudian datang Mercutio, sahabatnya, yang menasehati Romeo dengan kata – kata bijak yang membuat Romeo dapat bangkit kembali. Selebihnya kita tahu bagaimana eloknya adegan balkon di rumah keluarga Capulet.

Samakah cintanya Romeo terhadap Rosalina dengan cintanya Romeo terhadap Juliet ? Atau dengan karakter – karakter lain, semisal Layla Majnun ? Begitu mengiris hati puisi – puisi yang diucapkan oleh Qays si Majnun kepada Layla. Semuanya hanya tentang cinta. Selebihnya kita tahu bagaimana menyedihkan adegan di atas kubur Layla.

Layla Majnun mati nglabuhi cinta mereka, begitu juga dengan Romeo dan Juliet. Kisah cinta mereka menjadi inspirasi selama berabad – abad setelah kehadiran mereka. Tapi mengapa para kritikus menggolongkan kisah dalam karya Syekh Nizami sebagai kisah cinta Ilahi ? Sedang kisah cinta William Shakespeare pada The Tragedy of Romeo and Juliet sebagai kisah cinta fana ? Lalu seperti apakah emosi yang membedakan antara cintanya Nizami dengan Shakespeare di atas panggung ? Mangga, silahkan pertanyaan – pertanyaan di atas direnungi. Mangga juga kalau pingin menjawab. Ini ada sepenggal kalimat dari Majnun kepada Layla pada pertemuan mereka yang terakhir :


Pergi dariku
Cintamu
telah mnjauhkan akalku
dari dirimu sendiri.
Suatu ketika aku memang bahagia melihatmu
tetapi sekarang
Aku kehilangan hasrat
terhadap segala sesuatu kecuali
Cinta.
31/07/2008

Lampu


Masih ingatkah kita pada perayaan 50 tahun republik tercinta ini merdeka ? Saat itu di pelosok negeri dipenuhi oleh kerlip ribuan lampu. Jalanan dipenuhi oleh warna – warni lampu dengan pelbagai macam ukuran dan pola. Ada rangkaian lampu kecil – kecil yang dililitkan pada sebatang bambu. Kemudian ditancapkan sepanjang jalan kampung. Tembok – tembok, kanopi rumah tak urung dipasangi lampu. Bahkan pohon – pohon besar pun tak luput dari hiasan tersebut.

Jalan protokol tentu saja tak luput dari kerlip lampu. Malah lebih banyak dan rumit polanya. Ada yang berpola bunga – bungaan, binatang dan manusia. Ada yang membentuk tulisan, bahkan lampu sokle dipasang di tengah kota. Seakan hendak menerangi angkasa yang gelap.
Saat itu, sejenak kita melupakan penderitaan diperintah di bawah rezim yang otoriter. Kita terhibur oleh pemandangan artifisial yang melenakan itu. Rakyat dari segala macam lapisan dan profesi berduyun – duyun memenuhi jalan protokol di malam hari hanya untuk menonton lampu. Lalu mereka pulang dengan wajah puas dan senyum yang mengembang.

Padahal saat itu harga – harga sudah mulai naik. Tingkah laku pejabat semakin memuakan. Segala bentuk represifitas kekuasaan sudah mendera kita. Tapi untuk sejenak, kita terpesona oleh lampu – lampu tersebut. Hanya sejenak memang, karena 3 tahun kemudian sang raja lengser. Melepaskan rantai yang semula mengikat kencang leher baron – baron. Kemudian para baron tersebut menjelma menjadi preman yang berkuasa di negeri ini.

Tapi sudahlah, di sini kita berbicara tentang lampu bukan tentang hubungan triangulasi negara, pengusaha dan preman. Kita berbicara tentang betapa hebatnya efek yang ditimbulkan oleh lampu – lampu tersebut. Dia bisa mempermainkan emosi dan membelokan nalar kita seperti contoh di atas. Tapi dia juga bisa menjadi terang di sudut – sudut yang gelap sehingga menekan angka kriminalitas.

Di dunia teater, efek yang ditimbulkan oleh lampu juga tidak akan jauh berbeda daripada dunia nyata. Dia bisa memainkan emosi para penonton, menstimulan karakter para aktor dan menambah greget setiap adegan. Singkatnya, lampu bisa membodohi penonton atau menerangi makna yang tersembunyi dalam setiap lakon. Semua berpulang dari anggota teater itu sendiri.


oleh : Hendro Prabowo
31 juli 2008

Hasil Penjurian Festival Drama Perjuangan


Penyerahan Hadiah Oleh Wakil Walikota
Surakarta Bapak FX Rudi Hadiatmo


Juara I Teater Waroeng

Juara II Teater Duren Sinigar

Juara III Teater Prasasti

Harapan I Teater One

Harapan II Teater Kate


Aktor Terbaik : Heri Suseno

Aktris Terbaik : Eny Suheimi


Hadiah Kambing : Teater Area Q

Hadiah Angsa : Teater Lincak

Hadiah enthog : Teater Waroeng

Festival Drama Perjuangan Sak Solo

Pada tanggal 19 sd 23 Juli 2008 Kelompok Tonil Klosed menggelar acara Festival Drama Perjuangan antar kampung Sak Solo. Acara tersebut bertempat di Panggung Pelangi / sanggar Kelompok Tonil Klosed, Perumahan Pelangi Utara IV no.6 Mojosongo, Solo. Dimulai pada pukul 19.00 WIB setiap harinya.
Kelompok Tonil Klosed Surakarta berdiri 20 April 1998. Sejak awal pembentukannya, Klosed sering pentas di tempat-tempat umum seperti terminal, panti asuhan, kampung, lapangan kampung, stasiun, tempat pelelangan ikan, LP dan Ponpes. Namun begitu, Klosed sebagai kelompok keseinan sangat serius dalam menjalani proses kreatifnya.
Secara sederhana, event ini diselenggarakan dalam rangka menyambut HUT RI ke 63. tetapi ada harapan besar yang tersimpan di dalamnya, yakni bertemunya seluruh lapisan masyarakat dalam satu ruang publik dengan balutan kompetitif. Sehingga dari sini akan terjalin tali silaturahmi yang menarik dan menjadi bentuk nyata usaha mempertahankan persatuan, kesatuan, dan jiwa nasionalisme.
Sebagai bentuk penghargannya akan diperebutkan Trophy Walikota surakarta, Wakil Walikota Surakarta, Ketua DPRD II Surakarta, Aria Bima ( anggota DPR Pusat ), ketua Dewan Kesenian Surakarta, Teater Gidag Gidig dan Padepokan Lemah Putih yang akan diperebutkan dalam berbagai kategori. Disamping itu, juga ada hadiah berupa seekor kambing, sepasang angsa dan sepasang enthog bagi grup-grup yang berprestasi.

Para Peserta

1. Teater Lincak ( kampung Pucang sawit Rt.02/II, Gerdu, Jebres) Judul Naskah : KIKIS, karya : Udin UPW, sutradara : Ayu dan Agus Ethek
2. Teater Warung ( Kampung Dawung Wetan Rt.01/XI, Danukusuman) Judul naskah : Lurung Kolobendu, karya : Joko Bibit, Sutradara : Subagyo
3. Teater Kate ( kampung Sewu Rt.01/VII ) Judul Naskah : Akhirnya Merdeka, Karya : BJ Hari, Sutradara : BJ Hari
4. Teater Duren Sinigar ( Perum seniman, Ngipang, Kadipiro ) Judul Naskah : Duren Sinigar, Sutradara : Dwi Mustanto
5. Teater Area Q ( kampung Bonoroto Rt.03, Gondangrejo, Karanganyar ) Judul Naskah : Meditasi, Sutradara : Manyol Owot.
6. Teater Garam ( kampung Ngasinan Rt.03/XII, Jebres ) Judul Naskah : Lorong, Karya : Putut Buchory, Sutradara : Caroko Tri Hananto Turah
7. Teater Prasasti ( Praon Rt.02/Viii, Nusukan, Banjarsari ) Judul Naskah : Tumbal, Karya : Bayu Gendhut, Sutradara : Bayu Gendhut
8. Nusa Mekar ( Jl. Majapahit I, Nayu Barat Rt.08/XIV, Nusukan, banjarsari ) Judul Naskah : Spirit Of Kemerdekaan, Karya : Prawoto Susilo, Sutradara : Owot
9. Teater Tejo ( kampung Gendingan Rw XVI Jebres ) Judul Naskah : Satu Kata, Karya : Wawat, Sutradara : Hidayat Pele
10. Kelompok Teater One ( Jl. Yani 34 Kuthorejo, Sragen ) Judul Naskah : Sulastri, Sutradara : Pine Wiyatno.


Kombor, 21 juli 2008
Sumber : diambil dari Klosed

Imajinasi

oleh : Hendro Prabowo

Seorang kiai di Solo pernah memberikan nasihat yang cukup nyleneh kepada seorang kawan wartawan. Wartawan tersebut mempunyai dua orang anak, salah satunya sudah menginjak usia sekolah dasar. Nah, kiai tersebut menyarankan agar si wartawan memberikan latihan pre – memory kepada si anak tepat sebelum dia tidur. Si anak disuruh menceritakan kembali sebagian aktifitasnya. Kadang si anak disuruh bercerita tentang kejadian – kejadian sewaktu bersekolah di taman kanak – kanak di pagi hari. Kadang dia juga disuruh bercerita pengalaman – pengalaman menarik sewaktu bermain di sore hari.
Latihan pre – memory seperti itu sangat penting untuk pengembangan imajinasi si anak, demikian ujar sang kiai. Dengan imajinasi, anak dapat melakukan pengandaian yang bisa dia lakukan. Seandainya ikan peliharaannya tidak kelupaan dimakani, tentu ikan itu tidak akan mati. Seandainya dia jadi ikan, tentunya sengsara sekali menahan lapar. Sehingga sedikit rasa empati mulai muncul di diri anak tersebut. Bagi sang kiai yang bukan seorang pekerja teater, imajinasi ternyata penting sekali. Dengan imajinasi, oarng diajak untuk selalu melakukan telaah secara mendalam sebelum dia memutuskan sesuatu. Dan juga bukan dia seorang saja, tapi ada seorang filsuf bernama Hannah Arendt yang menganggap imajinasi itu penting.
Mari sejenak kita legalkan parsimony, penghematan berpikir, karena filsafat Hannah Arendt sangatlah dalam dan orisinil. Arendt melakukan pengamatan terhadap pengadilan Eichmann di Jerusalem dan pengadilan Frankfurt. Semua pengadilan tersebut berusaha untuk mengadili para penjahat rezim Nazi yang terlibat dalam genoicida terhadap bangsa Yahudi. Kesimpulan akhir dari Arendt sangat mencengangkan. Dalam banality of evil, Eichmann atau siapapun juga yang dengan enteng melakukan kejahatan tanpa rasa bersalah, bahkan dalam ukuran moral sangatlah biadab, di situ terlihat kenyataan orang yang tanpa pikiran ( thoughtless). Suatu kemalasan luar biasa untuk menggunakan akal yang seharusnya membuat orang berpikir, berimajinasi dan mampu mengambil keputusan untuk perkara – perkara yang dalam.
Nah, ternyata imajinasi penting sekali dalam berkehidupan. Mungkin bagi sebagian orang, latihan imajinasi yang dilakukan oleh kawan – kawan teater, adalah hal yang sia – sia. Bahkan para pelaku latihan imajinasi, sering dikira sebagai wong edan anyaran. Tapi jika diolah dengan baik, imajinasi dapat menuntun kita ke arah yang lebih baik.

Peksiminas

Selama dua hari berturut yaitu senin dan selasa tanggal 30 juni 2008 dan 01 juli 2008 telah berlangsung Festival Monolog Teater Kampus se Jawa Tengah. Event tersebut diselenggarakan di Teater Kecil Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta.



Festival ini adalah sebagai ajang untuk memilih wakil Jawa Tengah yang akan tampil di Pekan Seni Mahasiswa tingkat Nasional yang akan diselenggarakan di Jambi, tahun depan. Kegiatan yang diselenggarakan oleh Badang Pembina Seni Mahasiswa Indonesia (BPSMI) Jateng yang bekerjasama dengan ISI Surakarta ini diikuti oleh 12 peserta atau penyaji. Keduabelas penyaji itu di bagi dalam dua hari pementasan sebagai berikut :
Senin, 30 Juni 2008
1. Teater Hitam Putih-Universitas Setia Budi Surakarta menampilkan naskah Demokrasi karya Putu Wijaya
2. Teater Kidung-Universitas Muhamadiyah Surakarta menampilkan naskah Blok karya Putu Wijaya
3. Teater Kapling-UDINUS Semarang menampilkan naskah Arkeologi BEHA karya Beni Johanes
4. Teater Depan-Politeknik Pratama Mulia Surakarta menampilkan naskah Demokrasi karya Putu Wijaya
5. Teater Jejak-ISI Surakarta menampilkan naskah Prodo Imitatio karya Arthur S Nalan
6. Teater Asal-UNSOED Purwokerto menampilkan naskah Masmirah karya Arthur S Nalan
Selasa, 01 Juli 2008
1. Teater SS-UNES Semarang menampilkan naskah Demokrasi karya Putu Wijaya
2. Teater Kronis-UKSW Salatiga menampilkan naskah Rumah dan Tetesan karya Riris K Toha Sarumpaet
3. Teater Teras-UNIVET Bantara Sukoharjo menampilkan naskah Kasir Kita karya Arifin C Noer
4. Teater Gema-IKIP PGRI Semarang menampilkan naskah Demokrasi karya Putu Wijaya
5. Teater Dipo-UNDIP Semarang menampilkan naskah Demokrasi karya Putu Wijaya
6. Forum Komunikasi Teater (FKT)-Universitas Negeri Sebelas Maret (UNS) Surakarta menampilkan naskah BIN karya Beni Johanes

Selama dua hari pementasan itu cukup menarik animo penonton untuk menyaksikan gelaran itu. Setiap harinya Gedung Teater Kecil ISI itu selalu dipenuhi oleh penonton.
Dari 12 penyaji itu dipilih tiga penyaji terbaik dan satu diantaranya yang akan mewakili Jateng untuk tampil di tingkat nasional di Jambi tahun depan. Hasil keputusan dewan juri yang terdiri dari Hanindawan (seniman solo) Bapak Agus (ISI Jogya) dan Mucus (wartawan Detik com) memilih 3 penyaji terbaik. Penilaian dilihat dari tampilan secara keseluruhan penyajian baik dari segi aktor, penyuteradaraan dan artistik. Secara umum dewan juri menilai bahwa semua penyaji telah menampilkan sebuah pementasan yang baik. Krtikan banyak ditujukan pada pengolahan naskah dan keaktoran. Dari segi naskah, karena waktu penyajian yang dibatasi telah memaksa para sutradara untuk mengedit naskah yang ada. Proses editing naskah inilah yang dilakukan oleh beberapa penyaji membuat naskah itu kurang berbobot atau tidak tepat sasaran. Namun juga ada beberapa penyaji yang telah berhasil mengedit naskah tersebut dengan baik.
Dari segi keaktoran, ada beberapa aktor yang belum menyatu dengan naskah yang dibawakannya (terkesan menghafal). Rasa yang dibangun oleh aktor belum sempat menyentuh naskah yang dibawakannya. Maka dialog-dialog yang dilontarkannya tidak mempunyai bobot rasa sama sekali dan tidak ada emosi yang timbul dari apa yang diucapkannya.
Dari penilaian yang dilakukan dewan juri atas beberapa hal yang diantaranya seperti yang diuraikan di atas maka dewan juri menetapkan ketiga penyaji terbaik itu adalah :

1. Penyaji Terbaik I adalah Teater Gema – IKIP PGRI Semarang dengan aktor Ahmad Sofyan Hadi, naskah Demokrasi sutradara Khanif Ramadlani
2. Penyaji Terbaik II adalah Teater Kapling _ UDINUS Semarang dengan aktor Fajar Leksono, naskah Arkeologi BEHA sutradara Ismaedi
3. Penyaji terbaik III adalah Teater SS – UNNES Semarang dengan aktor Hargi Mustikaningtyas Naskah Demokrasi sutradara Muji Kuat Pramono

Acara festival monolog itu akhirnya di tutup oleh Drs Dwi Tiyanto SU (ketua BPSMI Jateng, sekaligus Pembantu Rektor UNS dan mantan Dekan FISIP UNS) dengan pemberian penghargaan kepada para penyaji terbaik.

(kombor_02/07/2008)

Pertemuan Perdana Pagupon Palupi

oleh : Kombor
Pagupon Palupi (Paguyuban Minggu Pon Pahargyan Luhur Pambudi) telah menorehkan sejarah untuk pertama kalinya mantan-mantan penggiat teater Sopo FISIP UNS berkumpul dalam suatu wadah yang diawali dengan arisan. Mungkin ini menjadi satu-satunya arisan mantan penggiat teater kampus di dunia.
Dengan semangat membangun kebersamaan dan niatan yang baik untuk menjalin silaturahim dan membina hubungan sosial yang lebih baik. Akhirnya pada tanggal 29 Juni 2008 kemarin telah diawali dengan satu pertemuan di rumah sdr Kombor di belakang UNS. Acara tersebut berlangsung mulai jam 10.00 WIB sampai dengan sore harinya sekitar pukul 16.00 WIB dari pertemuan pertama tersebut terbentuk sebuah kepengurusan yang sederhana dari Pagupon Palupi ini. M Rifai Latief (Pa’i) sebagai koordinator, Suyanto (Kombor) sebagai sekretaris dan Nur Apriyana (Yana) di percaya sebagai bendaharanya.
Banyak usulan yang mengharapkan kegiatan ini akan berkembang lebih baik lagi dengan berbagai macam usaha yang dapat membantu anggotanya. Usulan-usulan tersebut diantaranya membentuk yayasan, membentuk koperasi, memberikan simpan pinjam dengan bunga kecil, dan melakukan kegiatan-kegiatan sosial untuk masyarakat yang sedang membutuhkan. Semua usulan itu akan terus di bahas tentang kemungkinannya di masa depan. Akan tetapi yang semua sepakat bahwa kegiatan diharapkan akan terus dapat berjalan secara rutin terlebih dahulu.


(TeJe)

Pada pertemuan awal tersebut ditetapkan bahwa anggota arisan Pagupon Palupi saat ini berjumlah 20 orang. Dan setiap bulannya akan di gilir secara bergantian untuk tempat penyelenggaraanya. Pada pertemuan mendatang ditetapkan tanggal 3 Agustus 2008 bertempat di Rumah Tunjung (TeJe) di daerah Wedi, Klaten. Acara akan dimulai pada pukul 10.00 WIB ( kalau tidak ada perubahan waktu dan tempat)

Pertunjukan Teater : Antara Prosesi Onani dan Media Komunikasi


Oleh: Setyo Andi Saputro

Sebuah kejadian bisa dikatakan sebagai ‘peristiwa teater’ hanya jika melibatkan penyaji, tempat, dan penonton. Secara terbalik juga bisa disimpulkan, peristiwa ‘apapun’ yang melibatkan keberadaan tiga elemen tersebut, langsung bisa dikatakan sebagai sebuah ‘peristiwa teater’. Namun perlu digarisbawahi, bahwa yang akan dibahas disini lebih dikerucutkan pada salah satu peristiwa teater yang secara umum sudah kita akrabi, yaitu ‘pertunjukan teater di atas panggung’.

Seperti yang sudah disinggung di atas, ketiga faktor tersebut adalah hal mutlak yang harus ada (sebagai syarat untuk disebut sebagai peristiwa teater, termasuk pertunjukan teater). Namun bisa dikatakan, ketiganya bukanlah satu-satunya. Karena bagaimanapun ada hal-hal lain yang tak boleh dikesampingkan dalam proses penciptaan karya pertunjukan teater. Salah satunya adalah keberadaan ‘pesan’.

Bagaimanapun juga, pertunjukan teater bukanlah sekedar geliat tubuh dan ceracau para aktor yang tak mempunyai makna apa-apa. Pertunjukan teater (seharusnya) tak jauh beda dengan besi konduktor yang menjadi media penghantar panas. Namun apa jadinya jika sebuah pertunjukan teater hanya sekedar menjadi prosesi onani yang hanya memuaskan satu pihak (yaitu pihak penyaji) saja? Hal semacam inilah yang seringkali kita temukan di gedung-gedung pertunjukan. ‘Penonton’ yang seharusnya mempunyai hak sama untuk bisa mendapatkan sesuatu dari sebuah pertunjukan, kadangkala terlupakan oleh para kreator.

Betapa sering kita temui kelompok-kelompok teater yang terlalu sibuk mengeksplorasi sisi artistik, namun justru melupakan niat awal yang mendasari mereka untuk menggelar pertunjukan, yaitu ‘menyampaikan sebuah pesan’. Tak jarang sebuah pementasan yang ‘indah’ dari sisi artistik, dramaturgi, dan keaktoran, namun terlihat gagap dalam usaha ‘pengiriman pesan’. Padahal (dalam pertunjukan teater), keberadaan pesan seharusnya justru ditempatkan di atas elemen-elemen yang lain. Karena bagaimanapun, teater adalah sebuah media komunikasi. Dimana kreator (kelompok teater) mengemban tugas menyampaikan sebuah pesan kepada komunikan (penikmat).

Memang tak dapat disangkal, masalah sampai atau tidaknya sebuah pesan, tak semata tanggung jawab sang kreator. Frame of reference dan field of experience komunikan, juga mempunyai pengaruh besar terhadap keberhasilan proses penangkapan pesan ini. Namun adalah sesuatu yang mustahil ketika kita ingin merubah / memperbaiki / memberi saran terhadap pola pikir audience yang sedemikian banyak. Yang masih (agak) mungkin dilakukan adalah memberi masukan untuk para kreator, agar mempertimbangkan ‘bagaimana cara menyampaikan pesan-pesan, sekaligus meminimalisir kemungkinan ‘kegagalan’ proses tersebut.

Lalu sebenarnya apa yang mendasari lahirnya hal semacam itu? Entahlah. Namun yang pasti, saat ini banyak seniman-seniman egois yang hanya mengejar kepuasan pribadi mereka sendiri, tanpa mempedulikan ‘hak penonton’ yang harusnya mereka penuhi. Sehingga yang terjadi pertunjukan teater tak lebih dari ajang curhat sang seniman tentang sebuah tema, yang tak mempunyai relevansi apapun dalam merubah situasi.

Hal semacam inilah yang (mungkin) menjadi kegelisahan Prita Kemal Gani. Pada pertengahan Januari lalu, Direktur salah satu sekolah komunikasi di Jakarta ini membidani kelahiran jurusan Performing Arts of Communication di lembaga yang dipimpinnya. Berbeda dengan jurusan teater di insitusi pendidikan seni semacam Institut Kesenian Jakarta atau Institut Seni Indonesia, jurusan di sekolah ini lebih mengedepankan ‘teater sebagai sebuah media komunikasi’. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa lembaga ini memang bukan sebuah institusi pendidikan seni, melainkan sekolah komunikasi.

Lalu apakah kelahiran teaterawan dari lembaga semacam ini akan merusak tatanan pertunjukan teater oleh ‘seniman teater murni’? Tentu saja tidak. Justru dengan adanya lembaga belajar (resmi) dengan metode semacam ini, sedikit banyak akan memberi sebuah sapuan warna lain dalam jagat perteateran negeri kita, dimana banyak diantaranya yang semakin mengesampingkan ‘sampai tidaknya sebuah suara’.
(Dengan catatan, jika memang ada hal yang ingin disuarakan.)

Semarang 15 Juni 2008

Pimpro Pentas Produksi 2008


Pada hari Jumat tanggal 13 Juni 2008 telah diadakan rapat anggota teater sopo. Rapat bertempat di boulevard UNS dan dimulai pada kira-kira pukul 20.30 WIB.


Namun sayang sekali karena ternyata jumlah anggota yang dapat hadir "tak lebih banyak dari jumlah pengurus". Tetapi kemudian itu bukanlah merupakan suatu kendala karena yang terpenting pada malam hari itu adalah terpilihnya seorang pimpinan produksi untuk pentas produksi tahun ini.


Setelah alot dalam perdebatan tentang siapa yang akan menjdi pimpro akhirnya mencuat dua nama yaitu Putra dan Nopex. Mereka masing-masing bersedia menjadi pimpro kali ini.


Kemudian mulailah mereka memusyawarahkan akan hal ini, hasil yang diperoleh adalah melalui voting bahwa Nopex (Kom 2006) adalah pimpro pentas produksi teater sopo 2008.


" Untuk langkah-langkah selanjutnya akan saya segera koordinasikan ke temen-temen untuk menyusun team produksi" kata Nopex setelah ia terpilih sebagai pimpro.
Selamat dan semoga sukses!!! Semangat....!!!!


Matinya Seorang Aktor

Oleh: Setyo Andi Saputro

Bilakah seorang aktor bisa dikatakan ‘berhasil’? Merujuk pada hukum tak tertulis yang berlaku di kalangan teaterawan, ada sebuah cara sederhana yang bisa dijadikan indikator berhasil tidaknya seorang aktor. Indikator ini bisa diterapkan ketika pementasan sudah selesai digelar. Bilamana ketika (mantan) penonton masih mengenali sang aktor sebagai salah satu pemeran dalam pementasan, namun tidak ingat dengan karakter yang dibawakan, maka bisa diasumsikan bahwa aktor tersebut telah gagal. Karena aktor jenis ini, ternyata tak sanggup menjadi ‘sosok lain’ ketika di atas panggung. Begitu pula sebaliknya, ketika (mantan) penonton masih ingat benar dengan salah satu karakter dalam pertunjukan, namun tidak mengenali aktor yang memerankannya (meski penonton tersebut bertemu langsung dan berbicara dengan sang pemeran), bisa dikatakan aktor jenis ini adalah aktor yang berhasil. Karena dirinya benar-benar mereduksi segala sesuatu tentang dirinya, dan beralih rupa menjadi karakter tokoh yang diperankannya.

Metode penilaian semacam ini didasarkan pada makna dasar dari kata ‘aktor’ itu sendiri. Dimana kata aktor, berasal dari sebuah kosakata bahasa inggris ‘actor’ (turunan dari kata act yang artinya memainkan peran/berpura-pura). Dari pemahaman ini bisa disimpulkan bahwa seorang aktor; entah dalam pementasan teater maupun film; sebenarnya (dan mungkin juga seharusnya) adalah seseorang yang (hanya) berpura-pura memerankan seorang tokoh dalam naskah (yang tentu saja, bukan dirinya sendiri). Atau dengan kata lain, bisa dikatakan bahwa seseorang yang tidak memerankan karakter lain selain dirinya (meliputi gesture, cara bicara, sikap, sifat, ekspresi muka, dsb) dalam sebuah pementasan, bukanlah seorang aktor sejati.

Namun rupanya teori semacam ini tidak serta merta dipahami semua orang, bahkan juga oleh mereka yang sekian lama berkecimpung di dunia seni peran. Seperti yang termuat dalam sebuah berita di situs Kompas.Com, dimana dikatakan bahwa saat ini casting pemain untuk film Ketika Cinta Bertasbih (diangkat dari novel berjudul sama karya Habiburrahman El Shirazy) sudah dimulai. Namun begitu konon ada sebuah perbedaan mendasar yang masing-masing diyakini oleh para juri yang terlibat dalam proses audisi tersebut. Yaitu perbedaan pendapat antara Didi Petet dan Neno Warisman. Bisa dikatakan keduanya adalah sedikit diantara aktor & aktris senior negeri ini, yang sebagian besar hidupnya dihambakan pada dunia akting.

Didi Petet yang notabene adalah aktor dari lingkungan akademis berpendapat, bahwa dalam proses audisi ini yang terpenting dan paling mutlak dipenuhi hanyalah satu hal, yaitu ‘kemampuan akting’. Namun pandangan itu berbeda dengan pemikiran Neno Warisman. Aktris yang juga seorang ustadzah ini mempunyai pemikiran, bahwa selain kemampuan akting para peserta audisi yang nantinya terpilih haruslah sosok yang mempunyai karakter mirip dengan tokoh yang nanti akan diperankan. Alasannya adalah karena film ini dikategorikan sebagai film dakwah. Dan karenanya, diharapkan aktor yang terlibat di dalamnya bisa merepresentasikan tokoh-tokoh yang ada di dalam cerita. Karena bagaimanapun, mereka nantinya diharapkan menjadi sosok panutan bagi para penonton yang mereka sasar. Dan jika disesuaikan dengan naskah film ini, bisa disimpulkan bahwa peserta audisi yang nanti terpilih (oleh Neno Warisman) adalah mereka yang agamis dan mempunyai karakter (asli) yang layak untuk dijadikan panutan.

Tepat titik inilah yang bisa dikatakan sebagai fase kematian seorang aktor. Dimana aktor tak lagi diharuskan berproses dalam usaha alih rupa menjadi sosok lain yang bukan dirinya, melainkan hanya diijinkan bertindak sebagai wayang sesuai karakter asli pribadinya. Jika hal ini yang terjadi, bukankah bisa dikatakan bahwa aktor telah mati?


Semarang 8 Juni 2008

Nona Kim

oleh : Hendro Prabowo

Bagi George W. Bush, wujud teror adalah Islam radikal. Bagi Osama bin Laden, wujud teror adalah Zionisme. Bagi Teater SOPO, wujud teror adalah Nona Kim. Nona Kim ? Bukankah ada banyak hal yang bisa menimbulkan rasa takut pada setiap anggota teater selain, siapa itu tadi, Nona Kim ? Seperti tidak adanya ijin pentas dari pihak yang berwenang. Atau tidak adanya dana untuk pentas. Hal – hal seperti itu jelas momok yang menakutkan dibandingkan dengan Nona Kim. Who the hell is Nona Kim ?
Dulu kala pernah ada anggota teater yang bernama Tholo. Mahkluk satu ini memang dilahirkan untuk ngawur, natural born ngawur. Suatu ketika, si Tholo ini kumat dalam hal pembuktian keeksistensian ngawurnya. Dengan cara apa ? Dengan cara membuka lebar – lebar pintu komunikasi dari dan ke dunia mahkluk halus. Dan tentu saja tempatnya di sekretariat Teater SOPO. Di mana lagi ? ( Begitu pikirnya kala itu ) Walhasil, singkat cerita, Tholo sekarang sudah sukses berada di Mbetawi sana. Dan di Gudang Teater SOPO juga sukses mempunyai penghuni tetap berwujud mahkluk halus yang mempunyai nama Nona Kim.
Seperti halnya Tholo, Nona Kim juga haus dalam pembuktian keeksistensian. Dia sering menampakan diri, membuat suara – suara seram, menebarkan aroma harum dan fenomena penampakan lainnya. Cuma bedanya kalau Tholo sukanya ngawur, Nona Kim lebih tertata. Nona Kim lebih suka mengeluarkan fenomena penampakannya hanya jika kreatifitas Cah SOPO lagi mandeg.
Ketika tak ada proses berkreatifitas di lingkungan sekretariat Teater SOPO, Nona Kim akan menampakan dirinya. Ketika kesunyian menghinggapi sekretariat, Nona Kim membuat suara seram. Ketika sekretariat hanya diisi oleh orang – orang yang melamun, Nona Kim menebarkan bau bunga Kanthil. Begitu seterusnya, tapi, Nona Kim tidak akan menampakkan wujudnya jika ada proses kreatifitas sekecil apa pun di lingkungan sekretariat.
Nona Kim memang bukan wujud hantu seperti kolor ijo, atau pun hantu – hantunya Goenawan Mohamad dalam “ Santeto – fobia .” Tapi lebih kepada petanda akan adanya kemiskinan kreatifitas di tubuh Teater SOPO. Dan seperti bagaimana laiknya sebuah tanda, dia boleh untuk ditafsirkan ulang.

Motivasi Marah : Ya… Marah

oleh : Hendro Prabowo

Suatu malam di sebuah warung susu sapi segar, Om Yan sedang marah – marah. Om Yan adalah pemilik bengkel Oge ( Oedoek Guedhi alias Moge ) terkenal di Kota Solo. Om Yan adalah orang yang sangat disiplin dalam menjalani hidupnya. Anak – anaknya sukses semua. Bahkan ada yang jadi direktur di sebuah perusahaan asing. Hidup Om Yan yang dulu keras, sekarang sudah more than lumayan. Tapi hebatnya Om Yan tetap hidup sederhana. Nah, malam itu Om Yan lagi marah – marah.
Marahnya tidak tanggung – tanggung, pakai acara misuh – misuh segala. Mulai dari sato iwen sampai pisuhan yang paling merendahkan martabat manusia keluar dari mulutnya. Dia marah terhadap segala hal yang tidak beres jalannya. Mulai dari pemerintahan sampai ke para pedagang. Dari masalah perburuhan hingga ke perpolitikan. Tapi ajaibnya, sambil marah dia tidak lupa terhadap hidangan didepannya.
Dengan intonasi suara yang kencang dan tinggi, raut muka yang kereng, dia memarahi pemerintahan yang tidak becus, anggota dewan yang korup, pedagang yang licik, demonstran bayaran, LSM provokator, mahasiswa malas. Kemudian jeda, mak lhep, sosis bakar itu masuk ke dalam mulutnya. Sambil mencucu karena mulut masih penuh makanan dia menyemprot salah satu pengunjung yang mulai merokok. Rokok adalah produk neo kolonialisme, kemudian dia marah terhadap penindasan buruh oleh pemodal, cengkraman modal asing, BUMN yang diobral, BBM naik tinggi, neo liberalisme, tanah air yang masih dijajah asing. Jeda, mak sruput, STMJ itu masuk dalam kerongkongannya.
Sambil mengusap sisa susu yang menghias kumisnya, dia melanjutkan marah – marahnya. Dan tentu saja dihiasi dengan kata – kata pisuhan. Tak seorangpun menanggapi amarah Om Yan. Para pengunjung warung tersebut sudah terlanjur takjub. Paling – paling cuma nyenggaki sebentar. Belum habis rasa takjub ini, Om Yan sudah pamit minta pulang. Lalu mak klepat, dia sudah mengayuh sepeda anginnya yang butut.
Ketika rasa takjub sudah reda, segera saja si pemilik warung ditanyai tentang motivasi marah dari Om Yan. Si pemilik warung cuma nyengir sambil berkata, “ Om Yan itu ya seperti itu. Sukanya marah – marah. Marahnya Om Yan kok pake motipasi. Marah, ya marah. “ We lha dalah, marah kok tidak pakai motivasi. Stanislavsky bisa bangkit dari kuburnya kalau mendengar itu. Marah kok nggak pake motivasi…

Tuhan, Teater & Tuhan Teater

Oleh : Setyo Andi Saputro


‘Tuhan’ hanyalah proyeksi buatan manusia, ungkap filsuf Jerman Ludwig Feuerbach. Yang menjadi pertanyaan lanjutan, mengapa manusia harus menciptakan proyeksi semacam ini? ‘Keterasingan jiwa manusia’, ungkap Marx. Pada hakekatnya, ketika manusia menyimpan sebuah kehampaan akibat keterasingan dalam dirinya, dia akan membutuhkan sebuah ruang untuk mengaktualisasikan diri. Ruang ini berguna sebagai sebuah lintasan tempat ‘berlari’ dari rumitnya realita kehidupan yang dihadapi.

Jika pandangan Marx ini disetujui, mungkin kita akan bisa sedikit menelaah cara hidup beberapa seniman (dalam hal ini seniman teater) yang sedemikian ‘cinta mati’ terhadap dunia yang satu ini. Memang ketika kita berbicara tentang logika, pilihan hidup segelintir orang yang berkecimpung di ‘jagat perteateran’ ini agak sulit diterima oleh nalar. (Terutama mereka yang benar-benar ‘berteater’, dan tidak termasuk para mahasiswa yang sekedar ‘mengisi waktu’ dengan bergulat dengan teater kampus). Bagaimana bisa diterima akal, ketika mereka; manusia-manusia ini; bersedia merelakan waktu, tenaga dan biaya untuk menghidupi dunia yang (untuk di Indonesia) kecil kemungkinan memberikan ‘imbalan’ seperti halnya bidang-bidang lain yang terhidupkan di kultur hedonis semacam ini? Bagi mereka, ‘teater’ sudah menjelma menjadi semacam agama.

Sebuah pengabdian, begitu beberapa orang mengatakan. Jalan hidup, begitu ungkap yang lain. Namun apapun sebenarnya itu, jika kita menggunakan teori Marx di atas, kita akan langsung bisa mengetahui alasan apa sebenarnya yang membuat beberapa manusia bersedia ‘menuhankan’ bidang yang satu ini. Mereka menjadikan teater sebagai sebuah lintasan untuk berlari, setelah sebelumnya, mereka terlalu penat akibat terus-terusan terbungkam oleh jeruji kehidupan yang tak terkalahkan.

‘Lalu apakah jawaban ini sudah menjadi sesuatu yang mutlak benar?’. Tentu saja tidak. ‘Apakah tak mungkin teori ini hanyalah sekedar ungkapan ngawur bin konyol yang salah kaprah?’. Tentu saja (teramat) mungkin. Karena filsafat; seperti halnya cabang-cabang ilmu lain; pada hakekatnya hanyalah kumpulan teori yang berusaha menjabarkan pemikiran manusia, merubah pola menjadi angka, serta menjabarkan ide dalam kata-kata. Sementara yang ‘pasti benar’, hanyalah satu. Yaitu, keberadaan berbagai kemungkinan ‘jawaban’, yang hanya dimengerti oleh masing-masing obyek yang sedang kita bicarakan saat ini. Dan karena hanya dimengerti oleh mereka, tentu saja kita tak bisa memperbincangkannya. Karena bagaimanapun, kita bukan mereka. Setidaknya saya, entah jika anda.


Semarang, 29 Mei 2008

Bingkai Bikin-Bikin

entah sampai kapan...
ekspresi kami mampu terealisasi,
karya dari kegalauan kami,
untuk sedikit berkata,
dan mencoba unjuk diri,
di dalam bumi seni,
yang maha luas ini.
.......................
meski kini
ruang bagi kami
terasa sulit dan sempit.

Bikin - Bikin

oleh : Hendro Prabowo


“ Bikin – bikin “ adalah term dari sebuah event pentas rutin tahunan Teater SOPO yang mengeksplorasi sisi keaktoran, artistik dan pengorganisasian teater untuk kemudian dipresentasikan ke dalam wujud berbagai macam pentas. Karena mengedepankan kata “ eksplorasi “ itu tadi maka “ Bikin – bikin “ bisa berlangsung lebih dari satu hari. Yang per harinya bisa ada dua sampai empat pertunjukan.

Tempatnya pun tidak terikat hanya pada satu ruangan saja, tapi bisa di luar ruangan atau berpindah tempat. Begitu juga dengan personil. Jika pementasan pertama seorang anggota menjadi aktor utama, hari kedua dia bisa menjadi pemegang alat musik. Atau menjaga parkiran. Pada intinya “ Bikin – bikin “ adalah keriuhan Teater SOPO.

Tapi apakah hanya itu saja maksud dari para orang tua dulu ketika membikin “ Bikin – bikin ? “ Setelah di – gothakgathuk entuk, “ Bikin – bikin “ ternyata agak nyrempet ke teater eksperimental – nya Bertolt Brecht, teater epik. Paling tidak nyrempet pada efek yang ditimbulkan. Yaitu efek pengasingan.

Efek pengasingan dalam teater epik Brecht bertujuan untuk mengasingkan penonton dari pertunjukan, sehingga mencegah timbulnya perasaan terbawa emosi dari penonton yang mematikan daya kritis. Penonton pun tetap sadar bagaimana karakter dan peristiwa – peristiwa dalam pertunjukan teater tersebut.

Efek pengasingan menyajikan sebuah pengalaman yang sudah akrab dalam kemasan yang tidak akrab sehingga penonton masih dapat memikirkan tindakan – tindakan dan kejadian – kejadian yang sepertinya alamiah ternyata by design oleh para personil teater. Ini kebalikan dari teater borjuis yang disuguhkan dengan baik oleh para sineas – sineas kita khususnya sineas opera sabun.

Teater borjuis berusaha untuk memanipulasi tindakan – tindakan dan kejadian – kejadian yang sama sekali aneh, mengemasnya dalam ilusi realitas, dan mencekoknya pada penonton yang pasif. Ingat kasus Lely Sagita yang mulutnya dikruwes oleh penonton pertunjukannya ? Nah, peng – kruwesan tadi adalah efek yang ditimbulkan oleh teater borjuis, efek pembodohan.
Dengan demikian, teater epik bukanlah ladang penyemaian fantasi penonton, melainkan lebih merupakan arena yang dihasilkan dari persilangan antara laboratorium, arena sirkus, aula musik, gelanggang olah raga dan ruang diskusi.

Jujur dan Bahagia

oleh : Hendro Prabowo

Nano Riantiarno dedengkot Teater Koma tersebut pernah berujar bahwa tujuan akhir dalam berteater adalah jujur dan bahagia. Lha, bagi kami menungso biasa, mengus – mengus kebak dosa ( sesuatu yang bernapas dan penuh dosa ), jujur dan bahagia itu sangat sulit sekali untuk dilakukan. Bahkan dikhayalkan pun sulit. Jangan – jangan Mas Nano itu sudah putus asa terhadap teater…Tapi setelah dipikirkan bener – bener, apa yang menjadi tujuan berteater tersebut bukan mustahil untuk dicapai. Sulit memang, tapi tidak mustahil.

Sering kita dengar peribahasa barat “ Sad but True .” Katakan dengan jujur walau itu sangat menyakitkan. Peribahasa yang hanya berisi tiga kata tapi mengandung berjuta implikasi dan sarat dengan makna. Tapi sad but true itu sebenarnya mudah dilakukan. Ada banyak situs yang berisi nasihat untuk terus berkata dan bertindak dengan jujur tanpa mengundang implikasi – implikasi yang menyakitkan.

Begitu pula dengan kebahagiaan. Kebahagiaan itu sesuatu rasa yang sangat relatif. Persis dengan tesisnya Einstein, ruang dan waktu relatif, even time doesn’t exist. Kebahagiaan itu relatif. Kebahagiaan itu mulur – mungkret. Tidak ada ukuran pasti dengan kebahagiaan. Kebahagiaan seorang konglomerat lain sekali dengan kebahagiaan seorang PNS. Memang kebahagiaan sering menemukan kehakikian dan kemurniannya seperti yang kerap terjadi di Kalkuta, City Of Joy. Tapi ukuran pasti kebahagiaan ? Kebahagiaan itu mulur – mungkret.
Menjadi insan kamil yang jujur ? Pasti bisa ! Menjadi insan kamil yang selalu bahagia ? Pasti bisa ! Menjadi insan kamil yang jujur dan bahagia ? Pasti…Ya…Seperti tulisan di atas. Sulit tapi bukannya tidak mungkin.

Menemukan

oleh : Gondrong

Bagi yang pernah berkelindan dalam proses teater pasti sering mendengar kata “ mencari “, “ dicari “ atau “ digoleki “ dalam bahasa Jawa. Kata itu sering diucapkan oleh, entah, sutradara, penulis naskah atau si penata artistik. Sang sutradara, misalnya, menyuruh si aktor untuk mencari emosi yang tepat bagi karakternya atau gerak tubuh yang pas dengan dialog. Maka si aktor tersebut akan berusaha sekuat tenaga untuk mencari persis seperti apa yang diinginkan oleh sang sutradara. Jika apa yang dicari oleh si aktor dan sutradara tak jua terpenuhi, maka yang tersisa adalah beban. Banyak juga para aktor itu akhirnya mendapatkan apa yang dicari setelah pementasan usai. Hal itu membuat mereka sangat kecewa.

Dalam satu sisi, apa yang dilakukan oleh para aktor itu persis dengan apa yang dilakukan Siddharta dalam romannya Herman Hesse. Siddharta selalu mencari dan mencari dalam hidupnya. Suatu saat dia berhenti dengan pencariannya, dan berkata, “ Jika seorang mencari, dia hanya akan melihat hal – hal yang dia cari. Dia tidak dapat menemukan dan menyerap hal – hal di luar yang dia cari. Dia mencari, karena dia hendak mengejar suatu tujuan. Dan hanya tujuan itu yang terus membayang – bayangi hidupnya. “

Mencari itu lain dengan menemukan. Mencari membuat orang terikat, karena dia harus selalu mengejar sesuatu. Sedang menemukan membuat orang bebas dan menerima, karena dia tidak dikejar – kejar untuk meraih sesuatu. Hanya dengan bebas dan menerima, orang bisa merasakan pelbagai anugerah yang tiap hari datang menghampirinya dengan berlimpah – limpah.

Dalam proses berteater kita seringkali tidak merasakan apa yang sebenarnya kita temukan dalam proses mencari tersebut. Kerap kali apa yang kita temukan tersebut mengandung nilai yang berharga dan bermakna, tapi kita mengacuhkan begitu saja. Itu semua terjadi karena tuntutan skenario atau sutradara demi suksesnya sebuah pementasan. Seusai pentas, akhirnya, apa yang dirasakan oleh para aktor adalah perasaan lega bukan buatan. Beban mereka seperti terangkat bersamaan dengan usainya sebuah pementasan. Karena mereka sudah terpenjara oleh proses berteater itu. Proses yang menekankan hanya kepada kata “ mencari .”

Uwek Saba Kafe

oleh : Hendro Prabowo

Uwek itu nama parapan dari seorang teman. Dari dulu sampai sekarang dia masih aktif berteater, walaupun dia sudah bekerja di percetakan besar di Solo. Dia masuk ke kampus Kentingan tahun 1998 tapi umurnya sudah tua betul. Lebih tua dari siapapun yang lagi aktif di Teater SOPO kala itu. Belum lagi wajahnya yang klasik, cara bicara dan gestur tubuhnya pun klasik. Semakin menunjukan kalau dia itu tuwo.

Akhir – akhir ini Uwek itu keranjingan masuk kafe. Kafe di sini tidak seperti kafe jaman dulu menurut fungsinya. Dulu, kafe didirikan untuk mat – matan minum kopi di senja hari sambil mandangin lukisan atau hasil seni lainnya. Di tempat itu para pengunjung, yang kebanyakan dari struktur intelektual, berbicara tentang berbagai hal berat dalam bungkus ringan.

Sedangkan kafe di sini sudah tentu tidak seperti itu. Kita semua tentunya sudah mafhum akan hal itu. Wong jamannya sudah lain. Tapi kafe yang dikunjungi oleh Uwek bukanlah kafe ruwet. Di mana isinya cuma musik yang disetel keras –keras sama aroma alkohol. Kafe yang dikunjungi Uwek adalah kafe kebanyakan. Yang kebanyakan pengunjungnya adalah eksekutif muda dan para ABG.

Pada awalnya, membayangkan Uwek dalam casing klasik keluar masuk kafe yang isinya ABG itu rak absurd to ? Gek apa yang dilakukan sama yang dicari oleh orang itu? Kan teater itu sangat kental dengan proses pencariannya. Mencari sesuatu yang murni dan hakiki. Mosok ya o ada yang hakiki di kafe itu ? Gek – gek Uwek itu lagi cari jodo ABG ya ?

Tapi Walter Benjamin berkata lain. Tokoh aliran kritis tersebut “ memasukkan “ Uwek ke dalam kategori manusia progresif. Manusia yang menonton film, masuk ke dalam keramaian kota, bekerja dengan mesin dan berkesenian. Manusia yang penuh dengan pengalaman – pengalaman kejutan yang menelanjangi objek dan pengalaman dari auranya.

“ Kejutan “ merupakan salah satu kunci dari estetika Benjamin. Kehidupan urban modern dicirikan dengan benturan – benturan sensasi yang fragmenter dan berubah – ubah. Baginya kenyataan ini bukan sebagai tanda keterpecahan “ keutuhan “ manusia di bawah kapitalisme. Tapi lebih kepada basis bagi bentuk artistik yang lebih progesif. Dus, mari ditunggu kejutan lanjutan dari si Uwek ini.


jejaka malas tobat
by : dony setiyawan SOPO 09

hei..... apa kabar kamu?
dasar seorang anak yang malas, yang berdiri di pojok ruangan,
sambil menghirup asap yang di beli 800 perak di warung perempatan,

kelontang-kelantung tak tau arah, dari pada itu kaislah sekerincing uang dengan segala halal,,
entah itu berBuruh atau berWirausaha,, tapi doktrinlah di benak kalian dengan "go away haram"

hitunglah hari dan badget yang diperlukan, karena dengan perkiraan kita akan tahu kekurangan kebutuhan kita,,
save your money..
pikirkanlah masa depan
masa kejayaan, dan masa penikmatan hasil,,

Tentang Seksualitas

oleh : Gondrong

Dulu, ketika awal – awal Teater SOPO terbentuk, ada sebuah peraturan tidak resmi yang berisi bahwa antar anggota SOPO tidak boleh melakukan hubungan percintaan. Bahkan di teater fakultas lain, peraturan tersebut masuk dalam AD / ART. Pertimbangannya adalah rasionalisme semata.

Logikanya begini, teater itu kan selalu bersinggungan dengan emosi dan rasa dalam berproses – teaternya. Sedangkan dalam menjalankan organisasi dibutuhkan nalar yang jernih. Ditakutkan jika sampai ada rasa erotics muncul, hal tersebut akan mengganggu jagad mikro kosmos individu dan makro kosmos organisasi teater. Kalau orang sedang jatuh cinta, bolehnya dunia ini milik pasangan tersebut, yang lain in de kost.

Tapi sekali lagi jaman bergulir. Michel Foucault itu benar. Revolusi seksual kecil – kecilan muncul di tubuh Teater SOPO. Mulai ada percintaan sesama anggota teater. Kemudian individu – individu yang ber- erotics itu semakin banyak. Bahkan ada yang melanjutkan ke jenjang pernikahan. Tidak masalah sih sebenarnya. Cuma masih ada saja yang selalu bersifat sinis melihat fenomena tersebut.

Padahal revolusi seksual itu rak sebanarnya bagus to ? Wong itu merupakan bentuk perlawanan terhadap kapitalisme dan kekuasaan isme – isme lainnya. Pendekatan rasional dalam organisasi itu rak kapitalisme nyekek to ? Adam Smith mbah-nya kapitalisme itu bilang kalo keuntungan tertinggi adalah jika individu – individu bekerja secara maksimal demi tercapainya sukses kelompok. Padahal sudah muncul John Nash peraih Nobel Matematika itu. Yang bilang bahwa keuntungan tertinggi tercapai jika baik individu maupun kelompok sama – sama diuntungkan.

Seksualitas memang berjalan ambigu ( bukan ambivalen ). Ada sisi negatif yang muncul ketika seksualitas itu diumbar tanpa memperhatikan “ pengelolaan tubuh “ yang baik. Hal itu dinamakan patologis seksualitas. Tetapi jika “ pengelolaan tubuh “ itu sudah dapat dijalankan oleh individu – individu dalam teater, mbok ya biar mereka pada saling jatuh cinta. Mbok ya biar mereka melakukan pengalaman erotics tersebut. Mbok ya biar…

Copyright © 2008 - Teater Sopo - is proudly powered by Blogger
Smashing Magazine - Design Disease - Blog and Web - Dilectio Blogger Template