Teater Sopo Ngamen 4 Festamasio (Part 3)

Untuk ketiga kalinya, Teater Sopo menggelar ngamen bersama pada Kamis (12/2) lalu. Seperti dua acara serupa yang diadakan sebelumnya, ngamen kali ini juga digelar dalam rangka penggalangan dana terkait keikutsertaan Teater Sopo dalam ajang Festamasio IV.

Namun berbeda dengan ngamen terdahulu yang diadakan di Boulevard UNS, ngamen kali ini digelar di rumah Teater Sopo sendiri, yaitu FISIP UNS. Selama kurang lebih dua jam, puluhan anggota Sopo menghibur mahasiswa yang sedang menikmati makan siang di Kantin FISIP.

Selain menghibur para mahasiswa dengan lagu-lagu popular maupun ciptaan sendiri, awak Sopo juga membuka booth Anak Angin. Dalam booth ini dipamerkan sebagian kostum dan properti panggung pementasan Anak Angin yang nantinya akan dibawa ke Jakarta.

Tak berhenti sampai di situ, selesai acara ngamen digelar para awak Sopo bersama-sama menjual barang bekas yang dikumpulkan sejak beberapa bulan lalu ke tempat jual beli barang bekas. Sekedar informasi, ngamen dan menjual barang bekas adalah dua di antara beberapa metode penggalangan dana terkait keikutsertaan Teater Sopo dalam Festamasio IV. (sas)

Anak Angin Singgahi Lemah Putih

Mendung yang menggelayut menyembunyikan bulan bundar di langit Padepokan Lemah Putih, Rabu (11/2) malam lalu. Namun hal itu tak mempengaruhi minat 60-an penonton yang menikmati pementasan Anak Angin di ajang Lir-Ilir. Sebagai catatan, Lir-Ilir adalah agenda dwibulanan Padepokan Lemah Putih yang digelar bertepatan dengan malam bulan purnama.

Namun pertunjukan Anak Angin kali ini sebenarnya bukanlah pementasan utuh yang nantinya akan dipentaskan Teater Sopo di ajang Festamasio IV Jakarta, 26 Februari – 6 Maret mendatang. Beberapa kendala yang dihadapi Teater Sopo terpaksa membuat Yonek d’Nugroho selaku sutradara melakukan proses editing.

Selesai pementasan digelar, diadakan sebuah diskusi kecil-kecilan. Diskusi ini dimoderatori salah seorang pekerja seni Solo yang sekaligus koordinator ajang Lir-Ilir, Sayekti Lawu. Sementara yang bertindak sebagai pembicara adalah Titus, seorang aktivis teater sekaligus dosen Seni Rupa ISI Surakarta. Seiring diskusi yang berjalan, mengalir berbagai macam kritik dan saran dari beberapa peserta diskusi terkait pementasan malam itu.

Bagaimanapun juga, segala macam kritik, saran, dan masukan ini amat sangat dibutuhkan para awak Teater Sopo, agar nantinya bisa memberikan dan mencapai hasil maksimal dalam Festamasio IV mendatang. (sas)

Pentas Teater Bengkel Anak Bangsa

‘SUNAT’, POTRET IKLAS HATI YANG MAKIN PUDAR



Gedung Wanita Bancar Purbalingga Minggu malam (25/1) tampak “hidup”. Sekitar 150-an orang penggemar teater menikmati suguhan pentas teater berjudul SUNAT sajian Bengkel Anak Bangsa Purbalingga. Pentas tersebut merupakan wujud kerinduan para pekerja seni teater Purbalingga untuk mengekspresikan diri kepada publik. Sebelum pentas, Bagus Arifin ikut memeriahkan acara dengan membacakan puisi bertajuk “Indonesia”.



Lakon SUNAT karya Taat Wihargo yang dialih-bahasakan, diadaptasi dan disutradarai Aris Sarjono adalah drama komedi realis yang memotret dilematika budaya “nyumbang/kondangan”di masyarakat. Semestinya acara hajatan sebagai bentuk ucapan syukur kepada Tuhan dan berbagi kebahagiaan dengan warga sekitar, tapi pada masa sekarang ini acara tersebut “dimaknai” sebagai sebuah acara untuk mencari untung. Disadari atau tidak, nilai keiklasan hati pun mulai pudar dan bergeser pada kepentingan uang.


Dalam pentas teater yang mengambil setting kehidupan masyarakat desa yang agraris itu, dibuka dengan perbincangan antara Bapak (Kusdaryoko) dan Ibu (Reynelda Vera) perihal anaknya yang semata wayang. Perbincangan itu berujung pada perdebatan sengit ketika sang Bapak mengetahui kalau anaknya ingin cepat-cepat disunat dan malah ingin ikut sunatan massal secara gratisan. Dalam hal ini sang Ibu hanya kebingungan karena terus memikirkan keinginan anaknya itu, sedangkan sang Bapak ingin menggunakan momen sunatan anaknya dengan menggelar hajatan besar untuk mengembalikan semua sumbangan yang telah tersebar kemana-mana.
“Lha wong anak kita cuma satu thok-thil, masak ya tega sunatan cuma diem-dieman. Gengsi Bu, ya harus pakai slametan yang agak besar. Harus pakai undangan untuk mengumpulkan semua warga. Kalau perlu nanggap apalah, ketoprak, wayang kulit atau thek-thek, misalnya. Dan begini Bu, ini adalah kesempatan kita untuk mengembalikan sumbangan-sumbangan yang sudah kita keluarkan untuk kondangan sana, kondangan sini. Ya, kan?! Kesempatannya kapan lagi kalau kita tidak pernah punya hajatan..” ujar Bapak.
Dan hal itu disanggah oleh Ibu, “O.. jadi saat Bapak kondangan, saat ngasih amplop itu tidak iklas? Masih nunggu kembali, nggolet balen..”
Konflik bertambah panas saat kedatangan si Anak (Subekti) yang dengan begitu polos dan riang gembira mengabarkan kepada Ibu bahwa dia sudah sunat, ikut sunatan massal. Hal itu kontan menyulut amarah Bapak yang sangat menginginkan punya hajatan dan sudah memiliki tabungan berupa kambing. Tetapi Ibu dengan sekuat tenaga berusaha meredakan dan menyadarkan Bapak tentang sikapnya yang keliru.
Dalam pentas tersebut musik digarap rancak menggunakan gamelan jawa dan perkusi oleh Agustinus dan Trisnanto Budidoyo. Sedangkan tata lampu ditangani oleh Koko L Akade.
Pentas dihadiri beberapa pekerja seni dari Purbalingga, Purwokerto, Solo dan Purworejo, sedangkan dari unsur pemerintah tampak hadir Wakil Bupati Purbalingga Drs. H. Heru Sudjatmoko, MSi dan Sri Pamekas dari Disbudparpora Purbalingga.
Pada diskusi dan dialog seusai pentas dengan moderator Agustinus justru mengemuka tentang bagaimana eksistensi Dewan Kesenian Daerah Purbalingga pada pementasan perdana Bengkel Anak Bangsa yang dilontarkan oleh Bowo Leksono. Pertanyaaan itu dijawab dengan lugas oleh pekerja seni Bengkel Anak Bangsa bahwa ada atau tidak ada Dewan Kesenian Daerah, kita tetap berkarya.
Pada acara tersebut Wakil Bupati Purbalingga memberi arahan agar para pekerja seni untuk bisa lebih berhubungan dengan lembaga dalam SOT baru yaitu Dinas Kebudayaan Pariwisata dan Olahraga yang pada malam itu diwakilii oleh Sri Pamekas. ”Silahkan berhubungan Disbudpora dan manfaatkan instansi tersebut, kami berharap pentas seperti ini bisa berlanjut terus.” ujar Wakil Bupati.
“Kita akan membantu setiap kegiatan yang berhubungan dengan seni dan budaya, terutama pada anak muda agar kegiatan seni bisa hidup di Purbalingga!” tandas Sri Pamekas.



(Agustinus)

jalan Menuju Forum Silaturahmi Teater Sopo di Jakarta



Teman-teman alumni Teater Sopo yang berdomisili di Jakarta telah mengadakan acara silaturahmi yang mengambil tempat di Kebun Binatang Ragunan Jakarta tanggal 25 januari 2009 kemarin. Agenda yang dibahas di acara tersebut antara lain adalah membuka kemungkinan membuat forum silaturahmi anggota SOPO di jakarta. Agenda pertemuan berikutnya tanggal 22 Februari 2009 di rumah Wahyu hadi (Tholo). Semoga pertemuan besok membawa kabar baik dan semakin membuat ikatan persaudaraan di teater Sopo menjadi lebih erat. Meskipun masing-masing telah di pisahkan oleh jarak yang jauh namun semangat kita tetap sama pada proses yang tidak akan berhenti.

Cemooh

oleh Hendro Prabowo

Apa korelasi secara gathuk entuk antara Nietzsche, Einstein, daun Sembukan dan fenomena Kangen Band ? Jawabnya adalah musik. Seperti yang kita ketahui, bagi Nietzsche, tanpa musik hidup adalah suatu kekeliruan. Anehnya, bagi Einstein, semesta ini adalah musik. Partikel yang ada di semesta ini tidak bergerak dalam pola lingkaran atau statis ketika mereka berputar. Tapi bergerak seperti dawai gitar yang sedang dipetik. Orkestra terbesar adalah semesta.
Jangankan hidup dengan benar, seandainya semesta ini tidak bermusik maka tidak ada yang namanya kehidupan. Berlebihan ? Mungkin. Lalu apa hubungannya dengan daun Sembukan dan fenomena Kangen Band ? Daun Sembukan merupakan partikel – partikel yang secara dahsyat, luar biasa dan sophisticated berkumpul membentuk suatu tumbuhan yang baunya sangat busuk. Daun Sembukan sering dijadikan bahan lelucon untuk segala macam bau yang dikeluarkan oleh manusia. Secara asas kepatutan dan kenyamanan, kita patut dan terasa nyaman mencemooh daun Sembukan. Tapi ada juga yang suka mengkonsumsinya sebagai lalapan.
Begitu juga dengan Kangen Band and their ganks. Kita patut dan terasa nyaman untuk mencemooh cara bermusik mereka. Partikel – partikel yang bernama lirik, tehnik bermain, performa panggung, vokal, distorsi, gelombang frekuensi dan energi yang dihasilkan dan dikumpulkan oleh Kangen Band sangatlah busuk. Kita juga sering mendengar olok – olok yang rujukannya dari Kangen Band. Tapi ada juga, banyak malah, yang mengidolakan mereka.
Bagi kita yang berada di dunia teater dan sering bergumul dengan yang namanya “ proses “ tentu bisa untuk memahami proses penciptaan. Sebagai manusia, tidak ada yang sempurna dalam tahap awal penciptaan. Seiring dengan berjalannya waktu, hasil seni tersebut akan membaik dan bagus. Salah dua dari identitas teater epik - nya Bertold Brecht adalah ruang diskusi dan laboraturium. Jika saja ada cemoohan yang datang menghampiri, anggap saja itu angin perhatian. Lebih baik diperhatikan dengan cemoohan daripada diacuhkan sampai mati. Mbak I’enk pernah bilang, teruslah bernyanyi walau suaramu fals asal tetap terus ada apa yang namanya proses penciptaan.

Copyright © 2008 - Teater Sopo - is proudly powered by Blogger
Smashing Magazine - Design Disease - Blog and Web - Dilectio Blogger Template