Teater Adalah Peribadatan

Oleh : Setyo Andi Saputro

aku nganggur lagi, semalam ibu tidur di kursi, jam dua lebih aku menulis puisi, aku duduk menghadap meja,ibu kelap-kelip matanya ngitung utang, jam enam sore:, bapak pulang kerja, setelah makan sepiring,lalu mandi tanpa sabun, tadi siang ibu tanya padaku:, kapan ada uang? jam setengah tujuh malam,
aku berangkat latihan teater, apakah seni bisa memperbaiki hidup?

Puisi berjudul ‘Catatan Hari Ini’ diatas ditulis oleh Wiji Thukul, penyair asal Solo, pada tahun 1986. Meski ditulis lebih dari 20 tahun lalu, kegelisahan tentang ‘seni dan hidup’ yang diceritakan dalam rangkaian kata-kata diatas, masih banyak menghinggapi benak para pekerja teater di negeri ini.

Bagi kita yang tiap hari bergelut dengan dunia teater, pasti memahami benar bahwasanya dunia teater bukanlah dunia yang dekat dengan dunia materi. Bukan sebuah dunia yang bisa dipertanggungjawabkan akan bisa ‘menghidupi’. Lain halnya dengan cabang-cabang seni yang lain. Seperti dunia seni lukis kita, yang belakangan ini mengalami masa booming gila-gilaan, menyusul masa keemasan seni rupa kontemporer cina. Atau seni musik komersil kita, yang berhasil menumbuhkan benih-benih mimpi di benak para generasi muda. Lihat saja fenomena yang terjadi di sekitar kita. Hampir setiap hari muncul album-album baru dari band-band muda belia. Entah yang benar-benar memiliki musikalitas yang berkualitas, sampai yang hanya bermodalkan kenekatan semata.

Tapi teater? Jangan tanya. Bahkan kelompok sekelas Teater Koma, yang sudah memiliki reputasi internasional dan harga tiket pementasannya sampai ratusan ribu rupiah-pun, konon masih harus ‘nombok’ dalam setiap produksinya.

Kita semua pasti mengamini, bahwa dunia teater di Republik kita tercinta ini belum berada di posisi yang semestinya. Perhatian pemerintah belum bisa benar-benar dijadikan sebagai pegangan. Dan apresiasi khalayak masih terlalu minim. Lalu apa yang sebenarnya menyebabkan kondisi semacam ini terus-terusan melanda dunia teater kita? Apakah karena karya-karya teater kita yang masih jauh dari kata ‘berkualitas’?

Tentu saja tidak. Lihat saja pentas-pentas Teater Koma, Teater Garasi, atau pementasan kelompok-kelompok lain yang ‘sebenarnya’ bisa dikatakan ‘sangat berkualitas’. Namun, keberadaan budaya instant yang dibudidayakan oleh media, rupanya sudah mulai mengkontaminasi kelenjar-kelenjar otak sebagian masyarakat kita, hingga mengalami ‘sedikit’ mutasi. Otak yang sebenarnya ‘ada’ untuk digunakan ‘berpikir’, kini tak lagi menjalani fungsi yang semestinya. Mungkin memang belum seluruhnya, tapi dari segi kuantitas bisa dikatakan amat sangat berkurang.

Lalu apakah keberadaan tulisan ini hanya akan secara vulgar berteriak-teriak lantang, bahwa masyarakat kita adalah masyarakat yang ‘bodoh’? Yang malas berpikir, karena tidak mau meluangkan waktu menonton teater? Tentu saja tidak. Teater tidak se-sakral itu. Tidak se-suci itu. Yang ingin digaris bawahi disini adalah, bahwa budaya instant yang ditularkan oleh globalisasi media, secara tidak langsung telah menumpulkan logika sebagian besar dari kita hingga ‘hanya’ terbiasa mencerna segala sesuatu dengan cara yang mudah, dan murah. Termasuk dalam hal hiburan.

Dan hal itulah yang menjadikan teater semakin tersisih. Karena apa? Karena teater adalah sebuah hiburan yang menuntut penikmatnya untuk ‘sedikit berpikir’. Memang, tidak semua pementasan teater harus menuntut kening berkerut-kerut. Banyak pementasan yang ‘terkesan’ hanya mengumbar tawa semata. Namun, jauh dibalik itu semua, ‘pasti’ ada sebuah maksud tersembunyi dari sang kreator untuk mengutarakan ‘sesuatu’. Dan ‘sesuatu’ itu, kadangkala hanya bisa ditangkap jika audience menyempatkan diri untuk sekedar sedikit menggunakan olah pikirnya, mencerna apa yang ‘disisipkan’ dalam pementasan.

‘Kultur malas berpikir’ semacam inilah yang semakin menjauhkan teater dari masyarakat. Teater (modern) seakan menjelma menjadi sebuah ruang eksklusif yang hanya diperuntukkan bagi para seniman-seniman yang gemar berpakaian hitam, dengan rambut gondrong tergerainya, yang biasa bercengkerama di sudut gedung-gedung tua taman budaya yang terletak di sudut-sudut kota.

Keberadaan pemikiran semacam inilah, yang mendorong beberapa seniman teater kita mulai ‘turun gunung’ untuk bergerilya. Tidak lagi menggelar pementasan di ruang-ruang pusat kesenian. Namun mulai ‘mendekati’ masyarakat di lapangan desa, kelurahan, pasar, dan sudut-sudut kampung. Hal itu tak lain dan tak bukan, bertujuan untuk mengenalkan alternatif hiburan lain kepada masyarakat. Agar masyarakat bisa mengetahui, bahwa hiburan tak semata berbentuk sinetron picisan yang ditayangkan kotak-kotak ajaib bernama TV, yang memuat cerita super dangkal dan dipenuhi aktor dan aktris berkulit putih mulus, berwajah jelita, yang berakting sekadarnya saja. Kalimat singkatnya adalah, memasyarakatkan teater.

Memang, seperti itulah kondisi dunia teater di negeri ini. Namun dari semua itu, tentu saja tak melulu sisi negatif yang bisa didapatkan. Karena dengan tidak adanya campur tangan dan intervensi dari selera penonton, para seniman teater kita akan lebih bebas dalam berekspresi. Karena memang tujuan utama disini bukanlah ‘menjual’. Tapi sekedar ‘bersuara’. Berbeda dengan teater-teater Broadway yang mulai terkontaminasi, karena sudah menjadi bahan komoditi. Atau pementasan opera yang difasilitasi dinas pariwisata, yang dirancang ‘hanya’ sebagai penarik minat wisatawan, seperti di Singapura, Malaysia dan tempat-tempat lainnya.

Yang jadi permasalahan adalah, sampai kapan seniman teater kita bisa bertahan dengan kondisi semacam ini? Karena kita tak mungkin bisa membohongi diri, bahwa hidup memang butuh makan. Bagaimana mungkin bisa ‘menghidupi’ diri sendiri, jika tiap hari disibukkan ‘menghidupi’ teater? Salah seorang kawan pernah berkata, bahwa dalam mensikapi hal ini, ada dua macam pilihan. Apakah kita akan ‘menghidupi teater’ atau ‘hidup dari teater’. Pilihan pertama adalah berarti kita harus mencari materi di cabang lain, untuk selanjutnya digunakan untuk berteater. Sedangkan pilihan kedua adalah dimana kita harus benar-benar hidup dan mencari makan dari apa yang disebut sebagai ‘teater’. Dan dari dua pilihan ini, yang paling banyak terjadi di sekitar kita adalah yang pertama.

Tentu saja kita tak berhak menyalahkan metode yang diambil sebagian besar pekerja teater ini. Mereka bukannya tidak total dalam menjalani pilihan. Mereka hanya berupaya ‘realis’ dalam menghadapi kenyataan. Dan sekali lagi, kita sama sekali tidak berhak memberikan label ‘tak konsisten’ bagi seniman-seniman semacam ini.

Namun demikian, apapun pilihan yang telah ditetapkan masing-masing pekerja teater, tetaplah bermuara sama. Bahwa mereka melakukan sesuatu yang bagi sebagian awam, sama sekali tak berguna. Bayangkan, olah vokal, meditasi, mengatur nafas, latihan intensitas dengan bergerak sepelan mungkin, bergerak mengikuti nurani tanpa memberi kesempatan pada otak untuk berontak, dan sebagainya dan sebagainya. Untuk apa? Tepat disinilah bisa dikatakan, bahwa teater tak lebih dan tak bukan adalah sebuah peribadatan.

Mungkin bagi sebagian orang istilah ini dirasa terlalu berlebihan. Tapi bagi sebagian orang juga; apalagi para pegiat dunia teater; ungkapan ini adalah sesuatu yang benar adanya. Bahkan mungkin masih terlalu sederhana untuk mewakili kondisi yang sebenarnya. Bagi mereka, teater adalah sebuah bentuk pelepasan. Sebuah proses menjadi. Sebuah perjalanan menuju. Dan hanya sampai disitu, berhenti di predikat tanpa membutuhkan sebuah obyek atau keterangan tempat.

Karena itulah, para pekerja teater kita masih kuat menjaga eksistensinya dalam kehidupan. Meski tidak mendapatklan keuntungan dalam bentuk ragawi dan duniawi, mereka masih terus saja berkarya. Karena mereka tak lagi menganggap, apa yang mereka lakukan adalah sebuah ‘pekerjaan’. Melainkan ‘peribadatan’. Dan seperti yang seharusnya terjadi dalam seuah prosesi ibadah, ‘memberi’ adalah faktor yang paling dominan di sini. Tanpa mengharapkan keberadaan sebuah imbalan, ataupun balasan.

Lalu bagaimana, dengan teater-teater kampus yang ada di sekitar kita? Dimana kita ketahui, kampus adalah salah satu pusat keberadaan kelompok-kelompok teater di negeri ini. Hampir di tiap perguruan tinggi, pasti terdapat minimal satu kelompok teater. Mulai dari yang sekelas universitas, hingga fakultas. Dari sisi kualitas, kelompok-kelompok semacam ini sebenarnya layak untuk diperhitungkan. Namun; mengutip apa yang pernah dikatakan Putu Wijaya; teater kampus tak akan pernah menjadi dewasa.

Hal ini disebabkan keberadaan teater kampus (yang tentu saja di kampus), dimana eksistensi anggota-anggotanya dipengaruhi dengan ‘masa aktif’ mereka di kampus. Masa aktif yang dimaksud adalah masa ketika mereka masih tercatat sebagai mahasiswa. Memang, tidak semuanya bisa dipukul rata semacam itu. Banyak para alumni dari sebuah teater kampus yang masih bersedia berproses di komunitas almamaternya, ketika sudah menjadi sarjana. Namun jika diprosentase, akan didapat jumlah yang amat sangat kecil.

Bahkan seorang yang ketika kuliah begitu militan dan mempunyai power yang besar di dunia teater-pun, ketika sudah lulus belum tentu bersedia berproses lagi di tempat yang sama. Bahkan ‘banyak’ yang sama sekali tak bersentuhan lagi dengan dunia lamanya, yaitu ‘dunia teater’. Kenapa hal ini bisa terjadi? Apakah tidak sia-sia ‘kekuatan’ dan potensi yang sebenarnya mereka miliki, jika hanya dibiarkan menguap begitu saja? Lalu apa yang mendasari sikap mereka? Apakah sebagian dari mereka menganggap teater hanyalah sebuah tempat bermain anak-anak, hingga ketika mereka merasa dewasa (atau tua?) mereka tak lagi mau menyentuhnya? Karena mereka menganggap fase ‘teater’ mereka adalah ‘teater realita’? Tentu saja kita tak berhak berspekulasi apapun tentang hal ini.

Karena bagaimanapun, hidup adalah sebuah pilihan. Memilih berteater atau tidak sama sekali adalah sama-sama mulia. Apalagi ketika pilihan itu dijalani dengan langkah yang sempurna. Namun adalah sebuah kesalahan besar, jika ada persepsi yang menganggap teater hanyalah sekedar mainan anak-anak. Teater sama sekali tak berhubungan dengan usia. Belajar mengenai teater, adalah sama dengan belajar mengenai kehidupan. Dan dalam sebuah proses pembelajaran, eksistensi kata ‘berhenti’ tak lagi diakui.

Selamat menunaikan ibadah teater…

Semarang, 25 Maret 2008

1 komentar:

Anonim mengatakan...

rindu melihat teater....:(

Copyright © 2008 - Teater Sopo - is proudly powered by Blogger
Smashing Magazine - Design Disease - Blog and Web - Dilectio Blogger Template