Proker Baru Lewat Samaru Tarik Regenerasi dan Satukan Semua

Surakarta, Kamis(29/10) mengadakan sebuah program kerja pementasan yang baru pertama kali dilakukan oleh Teater SOPO FISIP UNS. Pentas itu bernama “Pentas Samaru” (Sambut Mahasiswa Baru). Pentas perdana selama kepemimpinan Alief Pandu Wirawan ini merupakan strategi yang dipilih oleh para pengurus sebagai strategi pemasaran yang paling “ciamik” untuk tonggak regenerasi anggota Teater Sopo tercinta ini yakni Maru 2009.

Ide yang sudah tercetuk saat bulan puasa ini mengangkat sebuah naskah asli dari Anton Chekov yang sudah diadaptasi oleh Iwan Simatupang dan di garap oleh Noviana Rahmawati atau yang kerap di panggil dengan Nope’ (Sopo 06’), dengan judul "Wek-Wek".


Proses yang berjalan selama dua bulan ini merupakan proses pertama bagi anggota SOPO 2008 selama kevacuman yang terjadi di laboratorium seni ini. Dalam proses ini sengaja yang dipilih menjadi koordinator sie adalah bibit-bibit baru (2008). Hal ini ditujukan agar sejak dini jiwa kepemimpinan dan tanggung jawab ada di jiwa dan mental mereka.

Pementasan yang berdurasi sekitar 60 menit ini mengajak kolaborasi angkatan-angkatan lawas Teater SOPO sebagai penasihat dan bahkan terjun langsung dan tergabung dalam Crew. Kangmas Yudho "Garenk", Suryo Nugroho, Wachidin Satu, Adhe Mindarwan, Suyanto Kombor dan masih banyak lagi merupakan serentetan nama-nama yang berada di depan maupun belakang pentas Samaru 2009 ini.

Lingkaran yang terasa ciut ketika enggan berbagi akhirnya dapat mulai melebar dengan kekuatan baru ketika antar semua elemen dalam SOPO mulai membaur dengan kerja keras dan tanggung jawab.

Diharapkan dengan adanya proses yang menyatukan antara kakak dengan adik dan antara semua elemen dalam SOPO ini tidak hanya terjadi dalam Samaru 2009 ini. Dan Samaru 2009 ini menjadi awal dari pemenetasan yang kuat dan dapat menyalurkan eksprsi kita lewat berproses dalam seni, selain untuk menarik mINAT anggota baru 09'.


Amieeeeen, Viva SOPO......................


SOPO's Problem Solving

Bertempat di kompleks Candi Sukuh, pada tanggal 30-31 Mei 2009 Teater SOPO FISIP UNS mengadakan acara Sambung Rasa yang di dalamnya beragendakan obrolan membahas tuntas semua permasalahan yang ada di SOPO dilanjutkan dengan suksesi.

Acara yang dimulai pukul 17.00 WIB ini, dibuka dengan bacaan basmalah. Agenda yang pertama dilakukan adalah membahas tentang masalah-masalah yang akhir-akhir ini muncul dalam tubuh Teater SOPO.

Dengan dialog yang yang dikemas secara apik, menarik, dan sedikit nylekit acara dibuka oleh Dewan Presidium yang terdiri dari Adhe Mindarwan, ZozonT, Alief Ahong, dan Juphe'.

Masalah yang dibicarakan adalah masalah pesimistis, masalah regenerasi Teater SOPO, kedudukan alumni, dan masalah akademis yang membatasi ruang gerak Teater SOPO.

Dari masalah-masalah yang ada akhirnya lahir sebuah Deklarasi Sukuh pada tanggal 31 Mei 2009 tepat pukul 9.00 WIB yang berisi :

1. Penanggulangan Pesimistis

Kemampuan menilai dan memilih sikap dengan pencapaian tolak ukur atas dasar tanggung jawab untuk kepentingan bersama

2. Penanggulangan Masalah Regenerasi Teater SOPO

Regenerasi anggota Teater SOPO merupakan tanggung jawab bersama (pengurus, alumni, anggota)

3. Kedudukan Alumni

Pengurus, anggota, dan alumni merupakan kesatuan yang utuh dalam menjaga keberlangsungan hidup Teater SOPO dengan posisi dan tanggung jawab masing-masing.

Setelah lahirnya Deklarasi Sukuh dilanjutkan dengan acara pemilihan ketua baru masa bakti 2009-2010 atau yang biasa disebut suksesi. Dalam suksesi tersebut muncullah beberapa kandidat dan akhirnya yang menjadi kandidat terkuat adalah Alief Pandu Wirawan menjadi Ketua Teater SOPO masa bakti 2009-2010 dengan jumlah suara 10 dari 18 orang yang datang.





Teater SOPO Adakan Sambung Rasa DI Graha UKM UNS



Demi berjalanNya regenerasi kepengerusan, teater Sopo berencana mengadakan sambung rasa. Acara tersebut merupakan agenda tahunan untuk mempertanggungjawabkan kepengurusan satu tahun periode yang di kepalai oleh Eko Novantoro kemarin. Dalam acara ini juga akan memilih siapa yang akan membawa perahu teater Sopo satu tahun kedepan.
Untuk mendukung acara ini pengurus mengundang seluruh anggota dan alumni untuk memberikan masukan dan saran yang membangun demi keterjagaan nama besar teater SOPO. Untuk itu Pengurus Mohon semua anggota dan alumni untuk datang dalam acara tersebut. Yang menurut rencana akan di adakan pada hari senin tanggal 25 Mei 2009 di ruang Sidang Graha UKM UNS Lantai 3. Sesuai kesepakatan pengurus acara sambung rasa akan di mulai pada pukul 16.00wib.
Sangat berarti sekali kehadiran semua Anggota teater Sopo dan alumni. Membentuk lingkaran besar, Semangat yang besar pula untuk membangun Sopo. Dari isu yang beredar muncul dua calon kuat yaitu Alief atau akrab dipanggil Ahonk dan Noviana racmawati atau "Nope'x". Bakalan sangat seru persaingan antar mereka karena sama-sama menempuh studi s1 dan mereka yakin masih punya waktu untuk membangun SOPO. Makanya Ayo datang. Sebelumnya terima kasih atas perhatiannya. Apabila ada perubahan akan kami konfirmasikan lebih lanjut. Terima kasih.
NB : Ruang Sidang Gedung Graha UKM UNS. Sebelah Utara Stadion UNS dekat Student Center(SC). Bersebelahan dengan Markas BEM UNS(Porsima_red)


Sebatas Curhat oleh : ZontS

Memaknai kata ‘Menang’

(Semacam Catatan Akhir Festamasio IV)

Oleh: Destina Nur. R

Obrolan evaluasi proses Festamasio IV yang diadakan beberapa waktu lalu membuka sebuah wacana panjang di otak saya mengenai sebuah arti kemenangan. Beberapa teman mengatakan, “Bukankah seharusnya kita menyamakan visi dan misi kita terlebih dahulu pada awal proses, apakah kita mengejar sebuah kemenangan ataukah tidak?”. Sebenarnya apakah arti kemenangan?

Begini. Akhir bulan Juli 2008 yang lalu, pada suatu siang, setelah makan siang di tempat Mami FISIP, Eko, Ketua Teater Sopo, tiba-tiba mendatangi saya membawa tawaran besar untuk menemani teman-teman dalam Festamasio IV. Mungkin karena pada saat itu dalam kepala saya berdesak-desakan sejumlah rencana besar tentang studi akhir saya, maka saya meminta waktu satu minggu untuk memikirkan tawarannya.

Beberapa hari lamanya saya memikirkan tawaran itu masak-masak. Menemani teman-teman dalam ajang festival saya kira tidak mudah. Butuh energi dan pikiran lebih untuk dapat melakukannya karena sudah beberapa waktu saya tidak mengikuti proses di Teater Sopo. Terlebih, saya sudah terlanjur bersumpah pada orang tua untuk tidak terlalu aktif dalam organisasi karena sudah saatnya menyelesaikan studi. Tiga hari kemudian saya mengiyakan tawaran itu dengan sejumlah konsekuensi pribadi yang harus saya tanggung. Walhasil, sumpah pada orang tua saya menjadi sebuah sumpah palsu.

Sejak awal ketika saya mengiyakan tawaran itu, entah kenapa, saya tidak memfokuskan diri pada sebuah kemenangan festival. Pemikiran saya lebih terfokus pada bagaimana proses ini bisa berjalan dengan sebaik-baiknya. Maka pada pertemuan pertama dengan tim inti Teater Sopo For Festamasio IV, tidak ada obrolan mengenai target kemenangan.

Menuju Festamasio IV memang membutuhkan proses cukup panjang, Sepanjang waktu itu, sering kali terjadi pergesekan, kendala, atau kejutan-kejutan yang mewarnai proses ini. Dari sosialisasi keberadaan proses Teater Sopo For Festamasio IV, pencarian dana, hingga “tragedi H -3” sebelum keberangkatan. Namun lagi-lagi entah, mungkin karena warna-warni itulah yang menjadikan proses Festamasio IV ini, bagi saya, sangatlah kaya.

Selama enam bulan perjalanan proses, seakan menjalankan sebuah program semester untuk Teater Sopo, karena proses Teater Sopo For Festamasio IV merupakan satu rangkaian kegiatan yang dilakukan semua anggota Teater Sopo, seperti latihan “Anak Angin”, perjuangan ngamen bareng di Boulevard, pengumpulan dan penjualan rongsok, pembuatan Video Profil “Bukan Sekadar Anak Angin”, hingga pencarian sponsor dan donatur. Tapi beruntunglah, karena hampir semua pihak sangat mendukung proses ini dari awal hingga akhir proses (saya bilang hampir).
Memang terkadang cukup melelahkan, tapi lama kelamaan muncullah sebuah rasa sayang kalau tidak melakukan dengan sunguh-sungguh. Saat keberangkatan pun, meski ketika itu belum jelas dimana kita akan menginap di Jakarta dan apakah uang yang kita bawa cukup, menjadi saat yang mendebarkan. Seperti halnya menonton sebuah film action, ‘What next?!!’.

Sesampainya disana pun, terdapat kejutan-kejutan mencengangkan seperti kondisi kepanitiaan Festamasio IV, gegar budaya, sampai bertemu dan sharing dengan alumni yang ada di Jakarta. Kesemua kejutan itu memberikan semangat baru untuk terus maju.

Hanya sedikit memang dari semua rangkaian proses Teater Sopo For Festamasio IV yang saya sampaikan disini, namun kenikmatan dalam sebuah proses itulah yang membuat saya berpikir bahwa kita sebenarnya menang.

Yang menjadi catatan dalam proses ini, meski kita tidak membawa sebuah penghargaan apapun dari Festamasio IV, namun proses ini tidaklah sebuah kesia-siaan. Mungkin ada penyesalan, mungkin ada kekecewaan, mungkin pula tidak ada perasaan apapun namun saya harap teman-teman dapat memaknai proses ini dengan sebaik-baiknya. Saya cukup menyadari, setiap orang yang terlibat dalam proses ini mempunyai target pribadi meskipun itu tidak diungkapkan secara gamblang. Namun saya harap semua itu menjadi sebuah pembelajaran bagi proses kita selanjutnya. Teater Sopo tidaklah usai sampai proses ini. Ketidakberhasilan kita untuk meraih penghargaan bukan sebuah kegagalan, karena yang tahu berhasil atau tidaknya sebuah proses ada pada kita yang melakukannya (ini kalimat kutipan dari sms alumni Teater Sopo). Ini hendaknya menjadi sebuah pijakan untuk dapat meloncat lebih tinggi.

Dan terakhir, saya, selaku pimpinan produksi Teater Sopo For Festamasio IV mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang turut membantu baik material maupun spiritual demi kelangsungan proses ini. Mohon maaf apabila dalam perjalanannya kami tidak dapat memenuhi harapan. Namun semoga proses ini menjadi pengalaman yang berharga untuk proses kita selanjutnya. Semangat!!


Nb : Mohon maaf catatan ini baru saya sampaikan saat ini.

Fatal


Anda pernah merasa jengkel, frustasi, ingin melempar dan meremukan sesuatu tetapi hopeless dan tak berdaya ? Tentu saja kita semua pernah merasakan hal tersebut, baik ketika dalam menghadapi situasi dan kondisi yang kompleks maupun yang sepele saja. Seperti saat menonton Kate Winslet memainkan karakter Anna Schmitz dalam film The Reader.
Anna Schmitz merupakan wanita paruh baya yang mempunyai pekerjaan sebagai sipir penjara di masa Nazi berkuasa. Hitler jatuh, dan Anna Schmitz pun dibawa ke hadapan pengadilan untuk dimintai pertanggungjawaban atas tindakannya. Tindakan yang menyebabkan nyawa banyak orang melayang. Tidak ada sangkalan yang keluar dari mulutnya. Yang keluar cuma argumen khas seorang bawahan. Seperti yang terjadi pada penelitian Hannah Arendt di pengadilan kelas teri Frankfurt. Sebagai sipir penjara ia haruslah patuh pada peraturan dan taat pada atasan. Jika bukan dia yang melakukan pekerjaan memuakan tersebut, orang lain lah yang akan melaksanakannya.
Tetapi kemudian tuduhan berkembang. Anna Schmitz dituduh sebagai otak di belakang kejahatan – kejahatan yang terjadi di penjara tersebut. Ada banyak bukti berupa tulisan dan tanda tangan dia dalam perintah kejam tersebut. Bukti tersebut adalah palsu. Buatan sipir – sipir penjara lainnya untuk mengkambinghitamkan Anna Schmitz. Agar dia yang harus menanggung perbuatan yang tidak dilakukannya. Kali ini Anna Schmitz tidak bisa atau tepatnya tidak mampu untuk menyangkal dan berargumen terhadap tuduhan tersebut. Bukan karena dia yang merasa bertanggung jawab. Tetapi karena Anna Schmitz malu jika rahasia kecilnya terbongkar seandainya ia bicara jujur. Rahasia kecilnya adalah dia tidak bisa baca tulis alias buta huruf.
Karena buta huruf tersebut Anna Schmitz dijatuhi hukuman seumur hidup. Cerita bergulir puluhan tahun kemudian. Lewat bantuan seorang kawan masa lampau, Anna Schmitz akhirnya mampu untuk membaca dan menulis. Kawan inilah yang dulu kerap membacakan karya – karya sastra untuk Anna Schmitz di waktu luang mereka. Anna Schmitz kemudian menulis surat agar sang kawan mau mengunjungi dirinya di penjara. Setelah bertemu, Anna Schmitz menyodorkan seluruh uang tabungannya yang jumlahnya tak seberapa. Agar sang kawan mau menyerahkan uang tersebut kepada ahli waris korbannya dulu sewaktu di penjara. Lalu Anna Schmitz mengakhiri hidupnya dengan menggantung diri di sel penjaranya yang sunyi.
Saat menonton film tersebut, rasanya jengkel, frustasi, ingin melempar dan meremukan sesuatu tapi hopeless dan tak berdaya. Rasanya hampir sama saat menyaksikan fenomena bureauphatology di Pemkot Solo. Saat permohonan bantuan dana Teater SOPO didisposisikan ke meja Dinas Purbakala. Sekali lagi Dinas Purbakala. Duh Gusti Allah nyuwun pangapura. Mungkin bagi mereka, kelompok teater merupakan benda langka peninggalan masa lampau. Menilik fenomena ini, kita bisa melihat bahwa tubuh birokrasi di Pemkot Solo tengah terkena penyakit yang kronis. Semoga saja birokrasi kita dapat sehat kembali. Semoga saja para birokrat itu tidak fatalis lalu melakukan bunuh diri birokrasi. Kalau pun akhirnya mereka bunuh diri, semoga saja tidak mengajak orang lain dan menyebabkan jatuh korban lain. Seperti yang dilakukan oleh para pelaku bom bunuh diri. Semoga.
surakarta, 3 maret 09
Hendro Prabowo

Citra

oleh : Hendro Prabpwo

Seberapa besar usaha kita dalam meraih kebebasan ? Seorang anak kecil yang bernama Jamal tengah terkurung di dalam sebuah kakus empang. Dia, seperti layaknya berjuta rakyat India, sangat mengidolakan Amitabh, legenda bintang film. Sialnya, sewaktu terkurung di kakus tersebut, Amitabh tengah membagikan tanda tangan di daerah itu. Jamal sangat menginginkan tanda tangan tersebut. Pilihan bagi dia adalah melewatkan kesempatan untuk bertemu sang idola atau terjun ke empang yang penuh dengan tinja.Salim memilih yang terakhir. Dia ceburi empang itu. Lalu dengan badan berlumuran tinja, ia menerobos kerumunan fans dan meminta tanda tangan sang idola. Sang idola pun lantas memberikan tanda tangan pada sebuah foto dirinya. Kisah ini ada di awal – awal adegan film Slumdog Millionaire.
Film itu menuai puja dan puji dari para kritikus film di seluruh dunia. Tapi bagi Amitabh ( yang nyata ), film itu terlalu memaksakan. Gambarnya sarat dengan kekumuhan. Film itu terlalu mengeksploitasi kemiskinan yang terjadi di India. India, kemiskinan yang seringkali berkelindan dengan kekerasan religi dan pertikaian ideologi. Sekaligus tanah tempat spiritualitas berasal. Amitabh mungkin jengah dengan citra yang ditampilkan oleh film tersebut. Citra yang lain dari film – film keluaran Bollywood. Tapi Amitabh mungkin juga keliru dalam memandang suatu fenomena.
Jaman ini adalah jaman ketika ideologi dikalahkan oleh realita, dan realita ditundukkan oleh pencitraan. Yang oleh Milan Kundera disebut imagologi, era pencitraan. Walaupun Slumdog Millionaire mengeksploitasi citra kemiskinan, ia hanyalah citra. Kenyataannya lebih buram. Dan idea – idea yang berkeliaran di Mother India tentu saja lebih rumit daripada yang dipaparkan oleh film itu. Toh, ending film tersebut telah mengembalikan pikiran kita ke daratan. Dia tidak dimaksudkan untuk mengusik kesadaran kita. Tapi untuk ditonton di Sabtu malam bersama sang kekasih sambil makan pop corn. Kemudian pulang lalu tidur nyenyak.
“ Namaku Jamal. Ini kakakku Salim . “
“ Namaku Latika . “
“ Kau boleh tidur di sini . “
“ Terima kasih Jamal . “
Lalu cahaya – cahaya merenangi mata. Cahaya dari Panditji, Ali Jina, Gandhi, Bunda Theresa, Budha….

Teater Sopo Ngamen 4 Festamasio (Part 3)

Untuk ketiga kalinya, Teater Sopo menggelar ngamen bersama pada Kamis (12/2) lalu. Seperti dua acara serupa yang diadakan sebelumnya, ngamen kali ini juga digelar dalam rangka penggalangan dana terkait keikutsertaan Teater Sopo dalam ajang Festamasio IV.

Namun berbeda dengan ngamen terdahulu yang diadakan di Boulevard UNS, ngamen kali ini digelar di rumah Teater Sopo sendiri, yaitu FISIP UNS. Selama kurang lebih dua jam, puluhan anggota Sopo menghibur mahasiswa yang sedang menikmati makan siang di Kantin FISIP.

Selain menghibur para mahasiswa dengan lagu-lagu popular maupun ciptaan sendiri, awak Sopo juga membuka booth Anak Angin. Dalam booth ini dipamerkan sebagian kostum dan properti panggung pementasan Anak Angin yang nantinya akan dibawa ke Jakarta.

Tak berhenti sampai di situ, selesai acara ngamen digelar para awak Sopo bersama-sama menjual barang bekas yang dikumpulkan sejak beberapa bulan lalu ke tempat jual beli barang bekas. Sekedar informasi, ngamen dan menjual barang bekas adalah dua di antara beberapa metode penggalangan dana terkait keikutsertaan Teater Sopo dalam Festamasio IV. (sas)

Anak Angin Singgahi Lemah Putih

Mendung yang menggelayut menyembunyikan bulan bundar di langit Padepokan Lemah Putih, Rabu (11/2) malam lalu. Namun hal itu tak mempengaruhi minat 60-an penonton yang menikmati pementasan Anak Angin di ajang Lir-Ilir. Sebagai catatan, Lir-Ilir adalah agenda dwibulanan Padepokan Lemah Putih yang digelar bertepatan dengan malam bulan purnama.

Namun pertunjukan Anak Angin kali ini sebenarnya bukanlah pementasan utuh yang nantinya akan dipentaskan Teater Sopo di ajang Festamasio IV Jakarta, 26 Februari – 6 Maret mendatang. Beberapa kendala yang dihadapi Teater Sopo terpaksa membuat Yonek d’Nugroho selaku sutradara melakukan proses editing.

Selesai pementasan digelar, diadakan sebuah diskusi kecil-kecilan. Diskusi ini dimoderatori salah seorang pekerja seni Solo yang sekaligus koordinator ajang Lir-Ilir, Sayekti Lawu. Sementara yang bertindak sebagai pembicara adalah Titus, seorang aktivis teater sekaligus dosen Seni Rupa ISI Surakarta. Seiring diskusi yang berjalan, mengalir berbagai macam kritik dan saran dari beberapa peserta diskusi terkait pementasan malam itu.

Bagaimanapun juga, segala macam kritik, saran, dan masukan ini amat sangat dibutuhkan para awak Teater Sopo, agar nantinya bisa memberikan dan mencapai hasil maksimal dalam Festamasio IV mendatang. (sas)

Pentas Teater Bengkel Anak Bangsa

‘SUNAT’, POTRET IKLAS HATI YANG MAKIN PUDAR



Gedung Wanita Bancar Purbalingga Minggu malam (25/1) tampak “hidup”. Sekitar 150-an orang penggemar teater menikmati suguhan pentas teater berjudul SUNAT sajian Bengkel Anak Bangsa Purbalingga. Pentas tersebut merupakan wujud kerinduan para pekerja seni teater Purbalingga untuk mengekspresikan diri kepada publik. Sebelum pentas, Bagus Arifin ikut memeriahkan acara dengan membacakan puisi bertajuk “Indonesia”.



Lakon SUNAT karya Taat Wihargo yang dialih-bahasakan, diadaptasi dan disutradarai Aris Sarjono adalah drama komedi realis yang memotret dilematika budaya “nyumbang/kondangan”di masyarakat. Semestinya acara hajatan sebagai bentuk ucapan syukur kepada Tuhan dan berbagi kebahagiaan dengan warga sekitar, tapi pada masa sekarang ini acara tersebut “dimaknai” sebagai sebuah acara untuk mencari untung. Disadari atau tidak, nilai keiklasan hati pun mulai pudar dan bergeser pada kepentingan uang.


Dalam pentas teater yang mengambil setting kehidupan masyarakat desa yang agraris itu, dibuka dengan perbincangan antara Bapak (Kusdaryoko) dan Ibu (Reynelda Vera) perihal anaknya yang semata wayang. Perbincangan itu berujung pada perdebatan sengit ketika sang Bapak mengetahui kalau anaknya ingin cepat-cepat disunat dan malah ingin ikut sunatan massal secara gratisan. Dalam hal ini sang Ibu hanya kebingungan karena terus memikirkan keinginan anaknya itu, sedangkan sang Bapak ingin menggunakan momen sunatan anaknya dengan menggelar hajatan besar untuk mengembalikan semua sumbangan yang telah tersebar kemana-mana.
“Lha wong anak kita cuma satu thok-thil, masak ya tega sunatan cuma diem-dieman. Gengsi Bu, ya harus pakai slametan yang agak besar. Harus pakai undangan untuk mengumpulkan semua warga. Kalau perlu nanggap apalah, ketoprak, wayang kulit atau thek-thek, misalnya. Dan begini Bu, ini adalah kesempatan kita untuk mengembalikan sumbangan-sumbangan yang sudah kita keluarkan untuk kondangan sana, kondangan sini. Ya, kan?! Kesempatannya kapan lagi kalau kita tidak pernah punya hajatan..” ujar Bapak.
Dan hal itu disanggah oleh Ibu, “O.. jadi saat Bapak kondangan, saat ngasih amplop itu tidak iklas? Masih nunggu kembali, nggolet balen..”
Konflik bertambah panas saat kedatangan si Anak (Subekti) yang dengan begitu polos dan riang gembira mengabarkan kepada Ibu bahwa dia sudah sunat, ikut sunatan massal. Hal itu kontan menyulut amarah Bapak yang sangat menginginkan punya hajatan dan sudah memiliki tabungan berupa kambing. Tetapi Ibu dengan sekuat tenaga berusaha meredakan dan menyadarkan Bapak tentang sikapnya yang keliru.
Dalam pentas tersebut musik digarap rancak menggunakan gamelan jawa dan perkusi oleh Agustinus dan Trisnanto Budidoyo. Sedangkan tata lampu ditangani oleh Koko L Akade.
Pentas dihadiri beberapa pekerja seni dari Purbalingga, Purwokerto, Solo dan Purworejo, sedangkan dari unsur pemerintah tampak hadir Wakil Bupati Purbalingga Drs. H. Heru Sudjatmoko, MSi dan Sri Pamekas dari Disbudparpora Purbalingga.
Pada diskusi dan dialog seusai pentas dengan moderator Agustinus justru mengemuka tentang bagaimana eksistensi Dewan Kesenian Daerah Purbalingga pada pementasan perdana Bengkel Anak Bangsa yang dilontarkan oleh Bowo Leksono. Pertanyaaan itu dijawab dengan lugas oleh pekerja seni Bengkel Anak Bangsa bahwa ada atau tidak ada Dewan Kesenian Daerah, kita tetap berkarya.
Pada acara tersebut Wakil Bupati Purbalingga memberi arahan agar para pekerja seni untuk bisa lebih berhubungan dengan lembaga dalam SOT baru yaitu Dinas Kebudayaan Pariwisata dan Olahraga yang pada malam itu diwakilii oleh Sri Pamekas. ”Silahkan berhubungan Disbudpora dan manfaatkan instansi tersebut, kami berharap pentas seperti ini bisa berlanjut terus.” ujar Wakil Bupati.
“Kita akan membantu setiap kegiatan yang berhubungan dengan seni dan budaya, terutama pada anak muda agar kegiatan seni bisa hidup di Purbalingga!” tandas Sri Pamekas.



(Agustinus)

jalan Menuju Forum Silaturahmi Teater Sopo di Jakarta



Teman-teman alumni Teater Sopo yang berdomisili di Jakarta telah mengadakan acara silaturahmi yang mengambil tempat di Kebun Binatang Ragunan Jakarta tanggal 25 januari 2009 kemarin. Agenda yang dibahas di acara tersebut antara lain adalah membuka kemungkinan membuat forum silaturahmi anggota SOPO di jakarta. Agenda pertemuan berikutnya tanggal 22 Februari 2009 di rumah Wahyu hadi (Tholo). Semoga pertemuan besok membawa kabar baik dan semakin membuat ikatan persaudaraan di teater Sopo menjadi lebih erat. Meskipun masing-masing telah di pisahkan oleh jarak yang jauh namun semangat kita tetap sama pada proses yang tidak akan berhenti.

Cemooh

oleh Hendro Prabowo

Apa korelasi secara gathuk entuk antara Nietzsche, Einstein, daun Sembukan dan fenomena Kangen Band ? Jawabnya adalah musik. Seperti yang kita ketahui, bagi Nietzsche, tanpa musik hidup adalah suatu kekeliruan. Anehnya, bagi Einstein, semesta ini adalah musik. Partikel yang ada di semesta ini tidak bergerak dalam pola lingkaran atau statis ketika mereka berputar. Tapi bergerak seperti dawai gitar yang sedang dipetik. Orkestra terbesar adalah semesta.
Jangankan hidup dengan benar, seandainya semesta ini tidak bermusik maka tidak ada yang namanya kehidupan. Berlebihan ? Mungkin. Lalu apa hubungannya dengan daun Sembukan dan fenomena Kangen Band ? Daun Sembukan merupakan partikel – partikel yang secara dahsyat, luar biasa dan sophisticated berkumpul membentuk suatu tumbuhan yang baunya sangat busuk. Daun Sembukan sering dijadikan bahan lelucon untuk segala macam bau yang dikeluarkan oleh manusia. Secara asas kepatutan dan kenyamanan, kita patut dan terasa nyaman mencemooh daun Sembukan. Tapi ada juga yang suka mengkonsumsinya sebagai lalapan.
Begitu juga dengan Kangen Band and their ganks. Kita patut dan terasa nyaman untuk mencemooh cara bermusik mereka. Partikel – partikel yang bernama lirik, tehnik bermain, performa panggung, vokal, distorsi, gelombang frekuensi dan energi yang dihasilkan dan dikumpulkan oleh Kangen Band sangatlah busuk. Kita juga sering mendengar olok – olok yang rujukannya dari Kangen Band. Tapi ada juga, banyak malah, yang mengidolakan mereka.
Bagi kita yang berada di dunia teater dan sering bergumul dengan yang namanya “ proses “ tentu bisa untuk memahami proses penciptaan. Sebagai manusia, tidak ada yang sempurna dalam tahap awal penciptaan. Seiring dengan berjalannya waktu, hasil seni tersebut akan membaik dan bagus. Salah dua dari identitas teater epik - nya Bertold Brecht adalah ruang diskusi dan laboraturium. Jika saja ada cemoohan yang datang menghampiri, anggap saja itu angin perhatian. Lebih baik diperhatikan dengan cemoohan daripada diacuhkan sampai mati. Mbak I’enk pernah bilang, teruslah bernyanyi walau suaramu fals asal tetap terus ada apa yang namanya proses penciptaan.

Ngamen 4 Festamasio

Dalam rangka penggalangan dana terkait keikutsertaan dalam Festival Teater Mahasiswa Nasional (Festamasio) IV di Jakarta, Teater Sopo melakukan acara ngamen bersama pada Rabu (14/1). Selama kurang lebih dua jam, sekitar 15 anggota Teater Sopo tak berhenti menyanyikan lagu dengan iringan musik guna menghibur para pejalan dan pengendara yang melintasi Boulevard Universitas Sebelas Maret Surakarta. Dan untuk sebuah awal, ternyata hasilnya lumayan memuaskan. Untuk selanjutnya, acara serupa juga akan digelar di kawasan Stadion Manahan pada Minggu (18/1) mendatang.

Acara ngamen sendiri sebenarnya adalah salah satu metode Teater Sopo dalam melakukan penggalangan dana. Sementara metode lainnya adalah dengan cara menjual pin, mengumpulkan serta menjual barang-barang bekas, dan; tentu saja; mencari dukungan dari pihak sponsor.

Sajak - Sajak Rudyaso Febriadhi

Aku Menyingkap Tabir Di Tepi Malam

Sesaat setelah sajadah kupandang tajam dan kubiarkan gelisahku tergeletak di sana, lipatan tirai malam mengganggu ruang pandangku untukku istirah merebah raga
Aku yang tersudut dalam letih urat-uratku mencoba bergerak menyongsong lipatan tirai malam yang tak berhenti menerpa seiring angin malam berhembus halus wajah lelahku
Aku berdiri lalu teduduk lagi
Aku duduk lalu terdiam lagi
Sejenak lalu kataku terbisik bergumam, Tuhanku…..Aku masih bernafas dengan lelah sekarang
Sukmaku solah melangkah keluar melewati pintu dan jendela rumah batinku
Angin malam tak terkira menyambut dan bergemuruh seperti senang mendapat tujuan terpa yang nyata adanya
Tuhanku…..Nafasku bergelisah dan bergerak tak tenang lagi
Lipatan tirai malam terhembus angin malam dan bergerak perlahan…
Aku ikuti….
Aku pandangi tiap jengkalnya
Aku terka reka setiap maknanya
Tuhan….Allahku….Ya Rabb Yang Maha Membuat segala keresahan
Apakah arti dari setiap rapuh helaan nafasku ini ?
Tanyaku belum terjawab…
Dan Kau berikan kembali pertanyaan-pertanyaan yang baru dalam lembaran gelisahku yang makin berlembar-lembar
Ya Allah Sang Maha Penuntunku…..
Duri gelisah yang merapuh ini memenuhi setiap kelenjar ruang pandangku…
Beritahukan padaku apa yang harus kuperbuat sekarang
Aku ingin berlari…..tapi belenggu bayang silam menyelinap dan menjerat sepasang kakiku yang letih ini…
Allahku….
Aku rapuh dan sangat mungil dalam kolong langitMu
Tapi dadaku sesak dalam ruang langit jiwa yang menggemuruh
Seolah besar sekali langit jiwaku
Penciptaku…
Aku berkawan tapi sendiri
Aku sepi tapi dadaku bergemuruh tak terperi
Apa lagi yang akan kudapati….
Aku tak tahu….
Aku terduduk dan seperti letih untuk berlari
Aku tak tahu apa Aku masih bisa berlari lagi
Berlari lagi sejauh masa kanak yang terputus dulu
Ya Maha Pengasuhku….
Aku serasa lusuh, kusut, carut marut dalam dahaga kejayaan
Tuhan…
Aku tahu Kau disana,disini, sama saja….
Biar kulipat dahulu sajadah ini
Kuletakkan resahku disana
Dan tergeletaklah Aku di atas bayang bening embun pagi
Biarlah basah jiwaku, dan Aku akan mencoba Ya Tuhan
Mencoba gerakkan urat dan kelenjar tubuhku bekerja
Biarkan kan kubaca bahasa yang Kau siratkan padaku

Perjanjianku

Aku tahu benar…..
Jika harus kutemukan dirimu saat ini bukan untuk mengutuk nasib…
Namun, menemukanmu dalam helaan nafas adalah titik dimana Aku harus bergerak meretas asa
Biarlah menari seluruh jiwaku dalam ruang hampa
Jangan kau berhenti sampaikan sapa dalam igauan ruang batin
Karena rasa terpendam laksana simpan selubung hasrat

Kembang-kembang kertas….
Kaitkan dirimu dalam sukmaku
Lingkarkan kuat tegarmu
Tabahkan layang pandangmu
Kutemui dirimu dalam nirwana abadi


Sajak Pengiringan Dawam Supardan dalam ucapan kata : Lawan!

Senja menyelubung bumi sepanjang dusun di tepi Hutan Sukun….
Gelap menyelimut resah
Bulan menyeringai gelisah
Hanya sebentuk sabit yang tersungging di sebalik mega
Dawam Supardan tersudut memojok di dinding kayu
Matanya memerah
Menggelembung membuncah tertahan gejolak bertabur amarah…
Tanah kubur Sang Ayah masih basah
Semalam telah tertanam sebatang jenazah
teriring leleran air mata, keringat bernanah, dan tentu saja….darah

“Hatiku bagai pilu tersayat ribuan sembilu
memeluk dendam, berantaikan kegilaan, terbelenggu hawa nafsu……bunuh…”

Dawam terpendam dalam lamun tak bertuan
Bulan sabit merah menyeringaikan senyum persetujuan….
Perlahan namun pasti
detak jantung yang semula lemah, bergerak berat berpacu dengan aliran darah
mengetuk-ngetuk…..
beratus ketuk
beribu ketuk
menelaah rasa yang makin berlaksa-laksa….

“ Ibu….
Apa yang harus kuimpikan bila mataku terpejam ? “

Sang Ibu menggeleng tiada makna…

Dawam Supardan yang lahir dengan mainan sabit, berteman cangkul, berkawan kapak….
tiada kuasa berkendali di bawah takdir
jari jemari bergerak berkalung resah….
menggenggam sekepal mengusung makna kesumat sebesar gunung
matanya makin memerah….
Teringat Ayah kemarin lusa
Dijemput paksa orang-orang berbaju hitam, bersepatu lars, memanggul senapan dan menenteng kelewang
Dua malam sebelum bulan sabit datang
berteriak-teriak seperti serigala kelaparan
menendang pagar bambu, mendobrak pintu reot…..
dan…..
Sang Tuan Rumah tak punya ruang untuk menyusun bahasa
pasrah dibawa entah kemana
sebelum akhirnya……aliran air hidupnya terpenggal….
Belum membusuk tapi bernanah
Belum teradili, tapi kepala dengan mata membelalak dan lidah yang terjulur
tak jauh dari situ di balik rimbun semak…..
tubuh…..
hanya tubuh dengan baju koyak moyak, dan cocok sekali dengan kepala yang bermata membelalak dan lidah terjulur tadi

Tak ada hela nafas untuk tangis
Tak ada sisa luka untuk simpan sedih

Sang Ibu mengangkat kepala
Ia memandang Sang Anak dengan makna yang terkucil….

Dawam Supardan meraut asa….
Bangkit berdiri dengan pinggang berhias arit
Berkilat berbayang malam bulan sabit….

“ Elingana….Yen ing kala rina sira babat nyawa…
nanging yen ing wengi iki sira kebabat isun kang ora wedi pati “

Dawam Supardan memanggul kapak, tergenggam erat laksana beban tak tertangguhkan
Dawam berlari….beringas….ganas….
Dari jauh pasukan baju hitam bersepatu lars masih berteriak-teriak lapar dan dahaga akan nyawa….

Jarak limapuluh tombak menjadi sepuluh tombak
sepuluh tombak menjadi satu depa
kapak terayun-ayun membabi buta
dua kepala remuk tersungkur
satu pundak sempal
tiga lelaki menjerit dengan usus terburai
kapak terpental
arit tercabut menerjang
satu regu pasukan tinggal seperempat saja

Hingga sesaat…..
Suara jerit memekik tertahan
mata masih memerah…
tiga pelor menembus paru-paru dan lemahlah Ia

Bulan sabit tampak pucat bersembunyi di balik mendung hitam….
Angin mendesir kencang…..
Tes…tes…tes….
Langit bertumpah air mata….

Dawam Supardan menggaungkan suara tanpa batas dalam kolong langit Tuhan..

Di dusun di tepi Alas Sukun…..
tanah basah air mata dan darah……..

Copyright © 2008 - Teater Sopo - is proudly powered by Blogger
Smashing Magazine - Design Disease - Blog and Web - Dilectio Blogger Template