Citra

oleh : Hendro Prabpwo

Seberapa besar usaha kita dalam meraih kebebasan ? Seorang anak kecil yang bernama Jamal tengah terkurung di dalam sebuah kakus empang. Dia, seperti layaknya berjuta rakyat India, sangat mengidolakan Amitabh, legenda bintang film. Sialnya, sewaktu terkurung di kakus tersebut, Amitabh tengah membagikan tanda tangan di daerah itu. Jamal sangat menginginkan tanda tangan tersebut. Pilihan bagi dia adalah melewatkan kesempatan untuk bertemu sang idola atau terjun ke empang yang penuh dengan tinja.Salim memilih yang terakhir. Dia ceburi empang itu. Lalu dengan badan berlumuran tinja, ia menerobos kerumunan fans dan meminta tanda tangan sang idola. Sang idola pun lantas memberikan tanda tangan pada sebuah foto dirinya. Kisah ini ada di awal – awal adegan film Slumdog Millionaire.
Film itu menuai puja dan puji dari para kritikus film di seluruh dunia. Tapi bagi Amitabh ( yang nyata ), film itu terlalu memaksakan. Gambarnya sarat dengan kekumuhan. Film itu terlalu mengeksploitasi kemiskinan yang terjadi di India. India, kemiskinan yang seringkali berkelindan dengan kekerasan religi dan pertikaian ideologi. Sekaligus tanah tempat spiritualitas berasal. Amitabh mungkin jengah dengan citra yang ditampilkan oleh film tersebut. Citra yang lain dari film – film keluaran Bollywood. Tapi Amitabh mungkin juga keliru dalam memandang suatu fenomena.
Jaman ini adalah jaman ketika ideologi dikalahkan oleh realita, dan realita ditundukkan oleh pencitraan. Yang oleh Milan Kundera disebut imagologi, era pencitraan. Walaupun Slumdog Millionaire mengeksploitasi citra kemiskinan, ia hanyalah citra. Kenyataannya lebih buram. Dan idea – idea yang berkeliaran di Mother India tentu saja lebih rumit daripada yang dipaparkan oleh film itu. Toh, ending film tersebut telah mengembalikan pikiran kita ke daratan. Dia tidak dimaksudkan untuk mengusik kesadaran kita. Tapi untuk ditonton di Sabtu malam bersama sang kekasih sambil makan pop corn. Kemudian pulang lalu tidur nyenyak.
“ Namaku Jamal. Ini kakakku Salim . “
“ Namaku Latika . “
“ Kau boleh tidur di sini . “
“ Terima kasih Jamal . “
Lalu cahaya – cahaya merenangi mata. Cahaya dari Panditji, Ali Jina, Gandhi, Bunda Theresa, Budha….

0 komentar:

Copyright © 2008 - Teater Sopo - is proudly powered by Blogger
Smashing Magazine - Design Disease - Blog and Web - Dilectio Blogger Template