Sajak - Sajak Rudyaso Febriadhi

Aku Menyingkap Tabir Di Tepi Malam

Sesaat setelah sajadah kupandang tajam dan kubiarkan gelisahku tergeletak di sana, lipatan tirai malam mengganggu ruang pandangku untukku istirah merebah raga
Aku yang tersudut dalam letih urat-uratku mencoba bergerak menyongsong lipatan tirai malam yang tak berhenti menerpa seiring angin malam berhembus halus wajah lelahku
Aku berdiri lalu teduduk lagi
Aku duduk lalu terdiam lagi
Sejenak lalu kataku terbisik bergumam, Tuhanku…..Aku masih bernafas dengan lelah sekarang
Sukmaku solah melangkah keluar melewati pintu dan jendela rumah batinku
Angin malam tak terkira menyambut dan bergemuruh seperti senang mendapat tujuan terpa yang nyata adanya
Tuhanku…..Nafasku bergelisah dan bergerak tak tenang lagi
Lipatan tirai malam terhembus angin malam dan bergerak perlahan…
Aku ikuti….
Aku pandangi tiap jengkalnya
Aku terka reka setiap maknanya
Tuhan….Allahku….Ya Rabb Yang Maha Membuat segala keresahan
Apakah arti dari setiap rapuh helaan nafasku ini ?
Tanyaku belum terjawab…
Dan Kau berikan kembali pertanyaan-pertanyaan yang baru dalam lembaran gelisahku yang makin berlembar-lembar
Ya Allah Sang Maha Penuntunku…..
Duri gelisah yang merapuh ini memenuhi setiap kelenjar ruang pandangku…
Beritahukan padaku apa yang harus kuperbuat sekarang
Aku ingin berlari…..tapi belenggu bayang silam menyelinap dan menjerat sepasang kakiku yang letih ini…
Allahku….
Aku rapuh dan sangat mungil dalam kolong langitMu
Tapi dadaku sesak dalam ruang langit jiwa yang menggemuruh
Seolah besar sekali langit jiwaku
Penciptaku…
Aku berkawan tapi sendiri
Aku sepi tapi dadaku bergemuruh tak terperi
Apa lagi yang akan kudapati….
Aku tak tahu….
Aku terduduk dan seperti letih untuk berlari
Aku tak tahu apa Aku masih bisa berlari lagi
Berlari lagi sejauh masa kanak yang terputus dulu
Ya Maha Pengasuhku….
Aku serasa lusuh, kusut, carut marut dalam dahaga kejayaan
Tuhan…
Aku tahu Kau disana,disini, sama saja….
Biar kulipat dahulu sajadah ini
Kuletakkan resahku disana
Dan tergeletaklah Aku di atas bayang bening embun pagi
Biarlah basah jiwaku, dan Aku akan mencoba Ya Tuhan
Mencoba gerakkan urat dan kelenjar tubuhku bekerja
Biarkan kan kubaca bahasa yang Kau siratkan padaku

Perjanjianku

Aku tahu benar…..
Jika harus kutemukan dirimu saat ini bukan untuk mengutuk nasib…
Namun, menemukanmu dalam helaan nafas adalah titik dimana Aku harus bergerak meretas asa
Biarlah menari seluruh jiwaku dalam ruang hampa
Jangan kau berhenti sampaikan sapa dalam igauan ruang batin
Karena rasa terpendam laksana simpan selubung hasrat

Kembang-kembang kertas….
Kaitkan dirimu dalam sukmaku
Lingkarkan kuat tegarmu
Tabahkan layang pandangmu
Kutemui dirimu dalam nirwana abadi


Sajak Pengiringan Dawam Supardan dalam ucapan kata : Lawan!

Senja menyelubung bumi sepanjang dusun di tepi Hutan Sukun….
Gelap menyelimut resah
Bulan menyeringai gelisah
Hanya sebentuk sabit yang tersungging di sebalik mega
Dawam Supardan tersudut memojok di dinding kayu
Matanya memerah
Menggelembung membuncah tertahan gejolak bertabur amarah…
Tanah kubur Sang Ayah masih basah
Semalam telah tertanam sebatang jenazah
teriring leleran air mata, keringat bernanah, dan tentu saja….darah

“Hatiku bagai pilu tersayat ribuan sembilu
memeluk dendam, berantaikan kegilaan, terbelenggu hawa nafsu……bunuh…”

Dawam terpendam dalam lamun tak bertuan
Bulan sabit merah menyeringaikan senyum persetujuan….
Perlahan namun pasti
detak jantung yang semula lemah, bergerak berat berpacu dengan aliran darah
mengetuk-ngetuk…..
beratus ketuk
beribu ketuk
menelaah rasa yang makin berlaksa-laksa….

“ Ibu….
Apa yang harus kuimpikan bila mataku terpejam ? “

Sang Ibu menggeleng tiada makna…

Dawam Supardan yang lahir dengan mainan sabit, berteman cangkul, berkawan kapak….
tiada kuasa berkendali di bawah takdir
jari jemari bergerak berkalung resah….
menggenggam sekepal mengusung makna kesumat sebesar gunung
matanya makin memerah….
Teringat Ayah kemarin lusa
Dijemput paksa orang-orang berbaju hitam, bersepatu lars, memanggul senapan dan menenteng kelewang
Dua malam sebelum bulan sabit datang
berteriak-teriak seperti serigala kelaparan
menendang pagar bambu, mendobrak pintu reot…..
dan…..
Sang Tuan Rumah tak punya ruang untuk menyusun bahasa
pasrah dibawa entah kemana
sebelum akhirnya……aliran air hidupnya terpenggal….
Belum membusuk tapi bernanah
Belum teradili, tapi kepala dengan mata membelalak dan lidah yang terjulur
tak jauh dari situ di balik rimbun semak…..
tubuh…..
hanya tubuh dengan baju koyak moyak, dan cocok sekali dengan kepala yang bermata membelalak dan lidah terjulur tadi

Tak ada hela nafas untuk tangis
Tak ada sisa luka untuk simpan sedih

Sang Ibu mengangkat kepala
Ia memandang Sang Anak dengan makna yang terkucil….

Dawam Supardan meraut asa….
Bangkit berdiri dengan pinggang berhias arit
Berkilat berbayang malam bulan sabit….

“ Elingana….Yen ing kala rina sira babat nyawa…
nanging yen ing wengi iki sira kebabat isun kang ora wedi pati “

Dawam Supardan memanggul kapak, tergenggam erat laksana beban tak tertangguhkan
Dawam berlari….beringas….ganas….
Dari jauh pasukan baju hitam bersepatu lars masih berteriak-teriak lapar dan dahaga akan nyawa….

Jarak limapuluh tombak menjadi sepuluh tombak
sepuluh tombak menjadi satu depa
kapak terayun-ayun membabi buta
dua kepala remuk tersungkur
satu pundak sempal
tiga lelaki menjerit dengan usus terburai
kapak terpental
arit tercabut menerjang
satu regu pasukan tinggal seperempat saja

Hingga sesaat…..
Suara jerit memekik tertahan
mata masih memerah…
tiga pelor menembus paru-paru dan lemahlah Ia

Bulan sabit tampak pucat bersembunyi di balik mendung hitam….
Angin mendesir kencang…..
Tes…tes…tes….
Langit bertumpah air mata….

Dawam Supardan menggaungkan suara tanpa batas dalam kolong langit Tuhan..

Di dusun di tepi Alas Sukun…..
tanah basah air mata dan darah……..

0 komentar:

Copyright © 2008 - Teater Sopo - is proudly powered by Blogger
Smashing Magazine - Design Disease - Blog and Web - Dilectio Blogger Template