Tuhan, Teater & Tuhan Teater

Oleh : Setyo Andi Saputro


‘Tuhan’ hanyalah proyeksi buatan manusia, ungkap filsuf Jerman Ludwig Feuerbach. Yang menjadi pertanyaan lanjutan, mengapa manusia harus menciptakan proyeksi semacam ini? ‘Keterasingan jiwa manusia’, ungkap Marx. Pada hakekatnya, ketika manusia menyimpan sebuah kehampaan akibat keterasingan dalam dirinya, dia akan membutuhkan sebuah ruang untuk mengaktualisasikan diri. Ruang ini berguna sebagai sebuah lintasan tempat ‘berlari’ dari rumitnya realita kehidupan yang dihadapi.

Jika pandangan Marx ini disetujui, mungkin kita akan bisa sedikit menelaah cara hidup beberapa seniman (dalam hal ini seniman teater) yang sedemikian ‘cinta mati’ terhadap dunia yang satu ini. Memang ketika kita berbicara tentang logika, pilihan hidup segelintir orang yang berkecimpung di ‘jagat perteateran’ ini agak sulit diterima oleh nalar. (Terutama mereka yang benar-benar ‘berteater’, dan tidak termasuk para mahasiswa yang sekedar ‘mengisi waktu’ dengan bergulat dengan teater kampus). Bagaimana bisa diterima akal, ketika mereka; manusia-manusia ini; bersedia merelakan waktu, tenaga dan biaya untuk menghidupi dunia yang (untuk di Indonesia) kecil kemungkinan memberikan ‘imbalan’ seperti halnya bidang-bidang lain yang terhidupkan di kultur hedonis semacam ini? Bagi mereka, ‘teater’ sudah menjelma menjadi semacam agama.

Sebuah pengabdian, begitu beberapa orang mengatakan. Jalan hidup, begitu ungkap yang lain. Namun apapun sebenarnya itu, jika kita menggunakan teori Marx di atas, kita akan langsung bisa mengetahui alasan apa sebenarnya yang membuat beberapa manusia bersedia ‘menuhankan’ bidang yang satu ini. Mereka menjadikan teater sebagai sebuah lintasan untuk berlari, setelah sebelumnya, mereka terlalu penat akibat terus-terusan terbungkam oleh jeruji kehidupan yang tak terkalahkan.

‘Lalu apakah jawaban ini sudah menjadi sesuatu yang mutlak benar?’. Tentu saja tidak. ‘Apakah tak mungkin teori ini hanyalah sekedar ungkapan ngawur bin konyol yang salah kaprah?’. Tentu saja (teramat) mungkin. Karena filsafat; seperti halnya cabang-cabang ilmu lain; pada hakekatnya hanyalah kumpulan teori yang berusaha menjabarkan pemikiran manusia, merubah pola menjadi angka, serta menjabarkan ide dalam kata-kata. Sementara yang ‘pasti benar’, hanyalah satu. Yaitu, keberadaan berbagai kemungkinan ‘jawaban’, yang hanya dimengerti oleh masing-masing obyek yang sedang kita bicarakan saat ini. Dan karena hanya dimengerti oleh mereka, tentu saja kita tak bisa memperbincangkannya. Karena bagaimanapun, kita bukan mereka. Setidaknya saya, entah jika anda.


Semarang, 29 Mei 2008

0 komentar:

Copyright © 2008 - Teater Sopo - is proudly powered by Blogger
Smashing Magazine - Design Disease - Blog and Web - Dilectio Blogger Template