Matinya Seorang Aktor

Oleh: Setyo Andi Saputro

Bilakah seorang aktor bisa dikatakan ‘berhasil’? Merujuk pada hukum tak tertulis yang berlaku di kalangan teaterawan, ada sebuah cara sederhana yang bisa dijadikan indikator berhasil tidaknya seorang aktor. Indikator ini bisa diterapkan ketika pementasan sudah selesai digelar. Bilamana ketika (mantan) penonton masih mengenali sang aktor sebagai salah satu pemeran dalam pementasan, namun tidak ingat dengan karakter yang dibawakan, maka bisa diasumsikan bahwa aktor tersebut telah gagal. Karena aktor jenis ini, ternyata tak sanggup menjadi ‘sosok lain’ ketika di atas panggung. Begitu pula sebaliknya, ketika (mantan) penonton masih ingat benar dengan salah satu karakter dalam pertunjukan, namun tidak mengenali aktor yang memerankannya (meski penonton tersebut bertemu langsung dan berbicara dengan sang pemeran), bisa dikatakan aktor jenis ini adalah aktor yang berhasil. Karena dirinya benar-benar mereduksi segala sesuatu tentang dirinya, dan beralih rupa menjadi karakter tokoh yang diperankannya.

Metode penilaian semacam ini didasarkan pada makna dasar dari kata ‘aktor’ itu sendiri. Dimana kata aktor, berasal dari sebuah kosakata bahasa inggris ‘actor’ (turunan dari kata act yang artinya memainkan peran/berpura-pura). Dari pemahaman ini bisa disimpulkan bahwa seorang aktor; entah dalam pementasan teater maupun film; sebenarnya (dan mungkin juga seharusnya) adalah seseorang yang (hanya) berpura-pura memerankan seorang tokoh dalam naskah (yang tentu saja, bukan dirinya sendiri). Atau dengan kata lain, bisa dikatakan bahwa seseorang yang tidak memerankan karakter lain selain dirinya (meliputi gesture, cara bicara, sikap, sifat, ekspresi muka, dsb) dalam sebuah pementasan, bukanlah seorang aktor sejati.

Namun rupanya teori semacam ini tidak serta merta dipahami semua orang, bahkan juga oleh mereka yang sekian lama berkecimpung di dunia seni peran. Seperti yang termuat dalam sebuah berita di situs Kompas.Com, dimana dikatakan bahwa saat ini casting pemain untuk film Ketika Cinta Bertasbih (diangkat dari novel berjudul sama karya Habiburrahman El Shirazy) sudah dimulai. Namun begitu konon ada sebuah perbedaan mendasar yang masing-masing diyakini oleh para juri yang terlibat dalam proses audisi tersebut. Yaitu perbedaan pendapat antara Didi Petet dan Neno Warisman. Bisa dikatakan keduanya adalah sedikit diantara aktor & aktris senior negeri ini, yang sebagian besar hidupnya dihambakan pada dunia akting.

Didi Petet yang notabene adalah aktor dari lingkungan akademis berpendapat, bahwa dalam proses audisi ini yang terpenting dan paling mutlak dipenuhi hanyalah satu hal, yaitu ‘kemampuan akting’. Namun pandangan itu berbeda dengan pemikiran Neno Warisman. Aktris yang juga seorang ustadzah ini mempunyai pemikiran, bahwa selain kemampuan akting para peserta audisi yang nantinya terpilih haruslah sosok yang mempunyai karakter mirip dengan tokoh yang nanti akan diperankan. Alasannya adalah karena film ini dikategorikan sebagai film dakwah. Dan karenanya, diharapkan aktor yang terlibat di dalamnya bisa merepresentasikan tokoh-tokoh yang ada di dalam cerita. Karena bagaimanapun, mereka nantinya diharapkan menjadi sosok panutan bagi para penonton yang mereka sasar. Dan jika disesuaikan dengan naskah film ini, bisa disimpulkan bahwa peserta audisi yang nanti terpilih (oleh Neno Warisman) adalah mereka yang agamis dan mempunyai karakter (asli) yang layak untuk dijadikan panutan.

Tepat titik inilah yang bisa dikatakan sebagai fase kematian seorang aktor. Dimana aktor tak lagi diharuskan berproses dalam usaha alih rupa menjadi sosok lain yang bukan dirinya, melainkan hanya diijinkan bertindak sebagai wayang sesuai karakter asli pribadinya. Jika hal ini yang terjadi, bukankah bisa dikatakan bahwa aktor telah mati?


Semarang 8 Juni 2008

0 komentar:

Copyright © 2008 - Teater Sopo - is proudly powered by Blogger
Smashing Magazine - Design Disease - Blog and Web - Dilectio Blogger Template