Pertunjukan Teater : Antara Prosesi Onani dan Media Komunikasi


Oleh: Setyo Andi Saputro

Sebuah kejadian bisa dikatakan sebagai ‘peristiwa teater’ hanya jika melibatkan penyaji, tempat, dan penonton. Secara terbalik juga bisa disimpulkan, peristiwa ‘apapun’ yang melibatkan keberadaan tiga elemen tersebut, langsung bisa dikatakan sebagai sebuah ‘peristiwa teater’. Namun perlu digarisbawahi, bahwa yang akan dibahas disini lebih dikerucutkan pada salah satu peristiwa teater yang secara umum sudah kita akrabi, yaitu ‘pertunjukan teater di atas panggung’.

Seperti yang sudah disinggung di atas, ketiga faktor tersebut adalah hal mutlak yang harus ada (sebagai syarat untuk disebut sebagai peristiwa teater, termasuk pertunjukan teater). Namun bisa dikatakan, ketiganya bukanlah satu-satunya. Karena bagaimanapun ada hal-hal lain yang tak boleh dikesampingkan dalam proses penciptaan karya pertunjukan teater. Salah satunya adalah keberadaan ‘pesan’.

Bagaimanapun juga, pertunjukan teater bukanlah sekedar geliat tubuh dan ceracau para aktor yang tak mempunyai makna apa-apa. Pertunjukan teater (seharusnya) tak jauh beda dengan besi konduktor yang menjadi media penghantar panas. Namun apa jadinya jika sebuah pertunjukan teater hanya sekedar menjadi prosesi onani yang hanya memuaskan satu pihak (yaitu pihak penyaji) saja? Hal semacam inilah yang seringkali kita temukan di gedung-gedung pertunjukan. ‘Penonton’ yang seharusnya mempunyai hak sama untuk bisa mendapatkan sesuatu dari sebuah pertunjukan, kadangkala terlupakan oleh para kreator.

Betapa sering kita temui kelompok-kelompok teater yang terlalu sibuk mengeksplorasi sisi artistik, namun justru melupakan niat awal yang mendasari mereka untuk menggelar pertunjukan, yaitu ‘menyampaikan sebuah pesan’. Tak jarang sebuah pementasan yang ‘indah’ dari sisi artistik, dramaturgi, dan keaktoran, namun terlihat gagap dalam usaha ‘pengiriman pesan’. Padahal (dalam pertunjukan teater), keberadaan pesan seharusnya justru ditempatkan di atas elemen-elemen yang lain. Karena bagaimanapun, teater adalah sebuah media komunikasi. Dimana kreator (kelompok teater) mengemban tugas menyampaikan sebuah pesan kepada komunikan (penikmat).

Memang tak dapat disangkal, masalah sampai atau tidaknya sebuah pesan, tak semata tanggung jawab sang kreator. Frame of reference dan field of experience komunikan, juga mempunyai pengaruh besar terhadap keberhasilan proses penangkapan pesan ini. Namun adalah sesuatu yang mustahil ketika kita ingin merubah / memperbaiki / memberi saran terhadap pola pikir audience yang sedemikian banyak. Yang masih (agak) mungkin dilakukan adalah memberi masukan untuk para kreator, agar mempertimbangkan ‘bagaimana cara menyampaikan pesan-pesan, sekaligus meminimalisir kemungkinan ‘kegagalan’ proses tersebut.

Lalu sebenarnya apa yang mendasari lahirnya hal semacam itu? Entahlah. Namun yang pasti, saat ini banyak seniman-seniman egois yang hanya mengejar kepuasan pribadi mereka sendiri, tanpa mempedulikan ‘hak penonton’ yang harusnya mereka penuhi. Sehingga yang terjadi pertunjukan teater tak lebih dari ajang curhat sang seniman tentang sebuah tema, yang tak mempunyai relevansi apapun dalam merubah situasi.

Hal semacam inilah yang (mungkin) menjadi kegelisahan Prita Kemal Gani. Pada pertengahan Januari lalu, Direktur salah satu sekolah komunikasi di Jakarta ini membidani kelahiran jurusan Performing Arts of Communication di lembaga yang dipimpinnya. Berbeda dengan jurusan teater di insitusi pendidikan seni semacam Institut Kesenian Jakarta atau Institut Seni Indonesia, jurusan di sekolah ini lebih mengedepankan ‘teater sebagai sebuah media komunikasi’. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa lembaga ini memang bukan sebuah institusi pendidikan seni, melainkan sekolah komunikasi.

Lalu apakah kelahiran teaterawan dari lembaga semacam ini akan merusak tatanan pertunjukan teater oleh ‘seniman teater murni’? Tentu saja tidak. Justru dengan adanya lembaga belajar (resmi) dengan metode semacam ini, sedikit banyak akan memberi sebuah sapuan warna lain dalam jagat perteateran negeri kita, dimana banyak diantaranya yang semakin mengesampingkan ‘sampai tidaknya sebuah suara’.
(Dengan catatan, jika memang ada hal yang ingin disuarakan.)

Semarang 15 Juni 2008

0 komentar:

Copyright © 2008 - Teater Sopo - is proudly powered by Blogger
Smashing Magazine - Design Disease - Blog and Web - Dilectio Blogger Template