Sensasi Merdeka Oleh Putu



Indonesia tidak akan pernah habis untuk dibicarakan. Negara dengan segunung masalah yang sebagian belum tersentuh ujung pangkalnya. Negara yang lahir lewat sekumpulan sejarah dan masa lalu yang banyak diungkit-ungkit lagi. Negara yang berkali-kali dijajah. Negara dengan segudang pertanyaan yang belum terjawab. Salah satu diantara banyak pertanyaan itu adalah : Apakah kita sudah benar-benar merdeka? Sebagian orang tentu tak akan ambil pusing dengan pertanyaan yang tidak jelas untung ruginya bagi mereka. Tapi tentu tak semua orang bisa sadar dengan sebuah kenyataan yang seolah-olah maya : apakah kita sudah siap untukbenar-benar merdeka? Apakah kita sudah siapuntuk berlari jika telah merdeka? Apakah kita sudah siap untuk terbang tinggi jika sudah merdeka? Burung perkututpun akan merasa gamang untuk terbang melarikan diri saat pintu sangkarnya dibuka dengan sengaja oleh Sang Majikan.
Mungkin memang berbeda antara manusia dengan burung perkutut. Akan tetapi wacana itulah yang diangkat oleh Putu Wijaya pada pementasan monolog dengan judul “Merdeka” dalam rangka Sepekan Gelar Seni di Taman Budaya Jawa Tengah di Surakarta(12/8). Putu memaparkan dalam monolognya ( atau bisa disebut juga mendongeng ) bahwa dua pihak yang sepertinya sangat mustahil untuk paham dan mengerti tentang kemerdekaan justru mempertanyakan lewat dialog dan sikap tentang arti, makna, dan hakikat kemerdekaan. Yakni seorang cucu yang masih kecil dan seekor burung perkutut. Seorang cucu bertanya kepada kakeknya yang notabene adalah seorang mantan pejuang pada masanya, dan pertanyaan itu adalah : apakah benar kita sudah merdeka? Sang Kakek terhenyak dengan pertanyaan dari seorang yang tampak lugu di matanya. Dengan aneka ragam penjelasan yang mungkin akan sulit dimengerti oleh cucunya, kakek itu menjawab dengan bergetar disertai rasa ketersinggungan yang mendadak. Cerita yang lain menerangkan kisah seorang juragan perkutut yang hendak memberikan hadiah bagi burung perkutut yang sudah lama dipeliharnya. Hadiah itu tak lain adalah kebebasan atau kemerdekaan untuk Si Perkutut. Pintu sangkarpun dibuka oleh Sang Majikan. Tak dinyana, perkutut ini rupanya tak siap untuk merdeka. Dengan berbagai alas an, Si Perkutut yang telah terbiasa dipenjara dalam sangkar ini benar-benar telah menyatakan diri untuk tak siap merdeka.

Sebagian dari cerita yang diangkat oleh Putu Wijaya dalam monolognya seperti memberikan gambaran bahwa merdeka bukanlah kata putus yang bijak untuk dapat terus melanjutkan hidup. Baik sebagai pribadi maupun sebagai bangsa secara utuh. Merdeka hanyalah kata mula. Merdeka hanyalah sebuah pintu keluar dari penjara keterjajahan. Merdeka hanyaloah sebuah garis start dari sebuah perjalanan panjang dari pribadi, golongan, ataupun bangsa secara keseluruhan utnuk terus melajutkan hidup. Apakah lanjutan dari merdeka? Pertanyaan yang tentunya sederhana dengan jawaban yang semestinya tidak sederhana. Apakah cukup dengan kata syukur? Apakah cukup dengan perayaan dan peringatan? Apakah cukup dengan kerja keras? Belajar? Atau dengan mengungkap rahasia alam tanah air? Menyibak jawaban dari alam semesta Nusantara yang katanya kaya ini? Akan banyak jawaban yang muncul dengan beragam dari lebih 220 juta rakyat yang tersebar di seluruh kepulauan Indonesia. Entah jawaban getir, jawaban naïf, jawaban munafik, atau jawaban sekenanya. Yang jelas Indonesia sebagai bangsa maupun sebagai Negara seyogyanya akan terus belajar, bergerak, dan bekerja untuk membuktikan masih punya nyali untuk melajutkan hidup setelah merdeka. Atau sebagai pembuktian bahwa bangsa ini benar-benar telah merdeka.

Terlepas dari topik merdeka yang dibawakannya, Putu Wijaya sekali lagi telah memberikan pelajaran singkat bagi para aktor yang menyaksikan pertunjukan semalam. Meskipun menurut penulis, Putu sendiri adalah lebih sebagai seorang penulis. Sekali lagi perlu digarisbawahi : Putu Wijaya adalah benar-benar seorang penulis. Baru kemudian dia dikenal sebagai sutradara teater maupun film. Kemampuannya menulis diejawantahkan dalam pentas monolog yang berdurasi lebih kurang satu jam. Dengan kata lain, pentas monolg tadi malam adalah semacam show up dari seorang Putu Wijaya sebagai penulis. Sebuah proses penulisan yang dipentaskan dengan kata-kata dan kalimat spontan. Sebagian kawan menyebut Putu adalah seorang ahli bercerita atau berdongeng. Ini terutama sangat terlihat saat jatah durasi tersisa tujuh menit dan Putu memberikan “bonus” monolog singkat untuk penonton yang tadi malam terasa cukup bergairah menikmati sajian Putu. Kemampuan Putu menguasai teknik keaktoranpun diperlihatkan dengan kemampuannya mengendalikan dan melibatkan penonton dalam pementasan. Putupun secara tersirat juga mengajarkan hidup sehat bagi para seniman. Dengan usia yang telah memasuki 64 tahun, energi dan stamina seorang Putu Wijaya menguasai durasi 60 menit pertunjukan tunggal tak kalah dengan aktor-aktor yang lebih muda.
Merdeka Pak Putu !!!

Rudyaso Febriadhi
Solo, 13 Agustus 2008
foto : kombor



0 komentar:

Copyright © 2008 - Teater Sopo - is proudly powered by Blogger
Smashing Magazine - Design Disease - Blog and Web - Dilectio Blogger Template