Polynices

oleh : Hedro Prabowo
Tahun ini, bulan Agustus bertepatan dengan bulan Ruwah dalam penanggalan Jawa. Bulan yang paling cocok untuk nyekar, berziarah. Di bulan Ruwah, orang – orang akan pergi berziarah, apa pun landasan filsafat dan etikanya, apa pun alasan dan motivasinya. Berziarah ke tempat – tempat suci, ke makam para orang tua , sanak saudara dan mereka, para sahabat yang mati muda.
Maka tak heran ketika suatu pagi seorang kawan mengajak berziarah. Ke sebuah makam di daerah Karanganyar. Makam yang sepi. Keharuan seperti menggantung di udara. Makam siapa ? “ Seorang yang mati di tahun 48 “, begitu jawabnya. Seperti makam di Kediri ? Seperti Polynices ? “ Ya, hampir seperti Polynices “, katanya.
Hampir seperti Polynices. Seorang tokoh dalam Antigone, sebuah tragedi Yunani karya Sophokles. Sebuah karya sastra yang mendekati kesempurnaan. Tersebutlah satu masa ketika Thebes ditinggal mati oleh Oedipus. Eteocles, sulung dari Oedipus lah yang menggantikan Oedipus. Eteocles ternyata memerintah Thebes dengan tangan besi. Adiknya, Polynices ingin menyingkirkan Eteocles. Kedua bersaudara ini kemudian berperang satu dengan yang lainnya dan sama – sama gugur. Kemudian naiklah Creon, saudara Oedipus, sebagai pengisi singgasana Thebes. Creon ingin mengangkat Eteocles sebagai pahlawan dan mengutuk Polynices sebagai pengkhianat. Seorang pengkhianat tak boleh dikuburkan, mayatnya tergeletak begitu saja habis dimakan binatang buas. Antigone, putri Oedipus, kemudian menguburkan jasad Polynices secara layak apa pun taruhannya, bahkan nyawanya sekalipun.
Hampir seperti Polynices. Sebab yang terbaring pada dinginnya makam di Karanganyar dan Kediri itu bermaksud tidak melawan kuasa yang tiran. Tetapi melawan amnese, kelupaan total terhadap cita – cita luhur berdirinya negara ini. Tak mengapa kalau pada akhirnya mereka dianggap sebagai pengkhianat bangsa. Revolusi memang memakan anaknya sendiri.
Sebelum pulang, sebuah pertanyaan terlintas di benak. Apakah mereka bersedia mati jika mengetahui kalau saat ini, negeri yang mereka cintai ini, menjadi sarang penyakit ? Tak tahu. Tapi yang pasti, kawan, jangan lupa untuk membuat pengharapan dan berdoa pada malam tirakatan. Sebelum bubur merah dan putih dihidangkan, sebelum nasi liwet dimakan. “ ...untuk Indonesia yang lebih baik…“

0 komentar:

Copyright © 2008 - Teater Sopo - is proudly powered by Blogger
Smashing Magazine - Design Disease - Blog and Web - Dilectio Blogger Template