Uwek Saba Kafe

oleh : Hendro Prabowo

Uwek itu nama parapan dari seorang teman. Dari dulu sampai sekarang dia masih aktif berteater, walaupun dia sudah bekerja di percetakan besar di Solo. Dia masuk ke kampus Kentingan tahun 1998 tapi umurnya sudah tua betul. Lebih tua dari siapapun yang lagi aktif di Teater SOPO kala itu. Belum lagi wajahnya yang klasik, cara bicara dan gestur tubuhnya pun klasik. Semakin menunjukan kalau dia itu tuwo.

Akhir – akhir ini Uwek itu keranjingan masuk kafe. Kafe di sini tidak seperti kafe jaman dulu menurut fungsinya. Dulu, kafe didirikan untuk mat – matan minum kopi di senja hari sambil mandangin lukisan atau hasil seni lainnya. Di tempat itu para pengunjung, yang kebanyakan dari struktur intelektual, berbicara tentang berbagai hal berat dalam bungkus ringan.

Sedangkan kafe di sini sudah tentu tidak seperti itu. Kita semua tentunya sudah mafhum akan hal itu. Wong jamannya sudah lain. Tapi kafe yang dikunjungi oleh Uwek bukanlah kafe ruwet. Di mana isinya cuma musik yang disetel keras –keras sama aroma alkohol. Kafe yang dikunjungi Uwek adalah kafe kebanyakan. Yang kebanyakan pengunjungnya adalah eksekutif muda dan para ABG.

Pada awalnya, membayangkan Uwek dalam casing klasik keluar masuk kafe yang isinya ABG itu rak absurd to ? Gek apa yang dilakukan sama yang dicari oleh orang itu? Kan teater itu sangat kental dengan proses pencariannya. Mencari sesuatu yang murni dan hakiki. Mosok ya o ada yang hakiki di kafe itu ? Gek – gek Uwek itu lagi cari jodo ABG ya ?

Tapi Walter Benjamin berkata lain. Tokoh aliran kritis tersebut “ memasukkan “ Uwek ke dalam kategori manusia progresif. Manusia yang menonton film, masuk ke dalam keramaian kota, bekerja dengan mesin dan berkesenian. Manusia yang penuh dengan pengalaman – pengalaman kejutan yang menelanjangi objek dan pengalaman dari auranya.

“ Kejutan “ merupakan salah satu kunci dari estetika Benjamin. Kehidupan urban modern dicirikan dengan benturan – benturan sensasi yang fragmenter dan berubah – ubah. Baginya kenyataan ini bukan sebagai tanda keterpecahan “ keutuhan “ manusia di bawah kapitalisme. Tapi lebih kepada basis bagi bentuk artistik yang lebih progesif. Dus, mari ditunggu kejutan lanjutan dari si Uwek ini.


jejaka malas tobat
by : dony setiyawan SOPO 09

hei..... apa kabar kamu?
dasar seorang anak yang malas, yang berdiri di pojok ruangan,
sambil menghirup asap yang di beli 800 perak di warung perempatan,

kelontang-kelantung tak tau arah, dari pada itu kaislah sekerincing uang dengan segala halal,,
entah itu berBuruh atau berWirausaha,, tapi doktrinlah di benak kalian dengan "go away haram"

hitunglah hari dan badget yang diperlukan, karena dengan perkiraan kita akan tahu kekurangan kebutuhan kita,,
save your money..
pikirkanlah masa depan
masa kejayaan, dan masa penikmatan hasil,,

2 komentar:

Anonim mengatakan...

ha3...
luar biasa.. beliau memang benar2 'aktor'... dalam panggung kehidupan..
ha3...

kita tunggu saja lanjutannya... support!!!

Anonim mengatakan...

q yo curiga,jangan-jangan.....
sebuah mesin cetak sudah masuk dalam otaknya.
dan mulai mencetak pertanyaan-pertanyaan besar bg teman-teman
wis ben.....
wancine seneng-seneng.
cah uwek ning top....huahaha

Copyright © 2008 - Teater Sopo - is proudly powered by Blogger
Smashing Magazine - Design Disease - Blog and Web - Dilectio Blogger Template