Penyaksi

oleh : Hendro Prabowo

Pada sebuah proses, seorang pelatih sengaja membiarkan para aktor untuk mengekspresikan bentuk kesenian mereka masing – masing sebebas - bebasnya. Sesi pertama latihan difokuskan per individu. Sesi kedua pada kelompok – kelompok kecil. Di sesi ketiga mereka membentuk satu kelompok besar. Tujuan dari latihan ini agar para aktor dapat berimajinasi sekreatif mungkin.
Si pelatih sudah berharap banyak pada para aktor. Bayangkan saja, sekelompok kecil seniman diperbolehkan melakukan apa pun yang mereka suka ! Tapi yang terjadi adalah latihan yang diliputi dengan kebingungan dan ketakutan, yang pada akhirnya membosankan. Yang mengejutkan adalah ternyata si pelatih juga dihinggapi rasa takut ketika memimpin latihan tersebut. Hal ini terjadi ketika salah seorang aktor memanjat pagar talud dan berteriak – teriak diatasnya. Si pelatih takut jika sang aktor sampai terjatuh dan ngglundhung ke bawah.
Latihan itu tidak saja menyadarkan para aktor, tapi juga si pelatih. Bahwa mereka terlalu lama hidup dalam dunia harmoni. Menurut Nietzsche senimanlah yang seharusnya sanggup hidup dalam alam disharmoni. Dialektika terus menerus. Proses kreatifitas tiada henti. Kegembiraan tiada tepi. Sedangkan para filsuf hanya cocok untuk hidup di alam harmoni. Penuh keteraturan yang njlimet dan menyesakkan.
Bagi si pelatih pribadi, rasanya musykil untuk tetap terus di jalan seni. Tapi rasanya juga ngaya – wara jika mengambil jalan harmoni. Dia lebih memilih untuk bergabung dengan kerumunan di utara Stasiun Purwosari itu. Jika senggang mereka menghabiskan sore dengan menyaksikan kereta yang lalu – lalang di stasi kecil itu. Sambil membawa anggota keluarga mereka yang masih kecil – kecil. Jika ada uang lebih, bakmi thoprak layak untuk dijadikan kudapan. Untuk si kecil, mainan kitiran dari plastik yang berbunyi ketika berputar. Celoteh – celoteh riang muncul ketika mulut – mulut kecil itu nyenggaki kereta yang lewat. Keretanya yang bagus, kencang lajunya. Masinis yang memainkan peluit kereta. Penumpang yang berpakaian indah. Dan ketika matahari sudah tertelan oleh cakrawala, mereka pulang sambil membawa kenangan tentang kereta – kereta yang lewat di stasi kecil itu.

0 komentar:

Copyright © 2008 - Teater Sopo - is proudly powered by Blogger
Smashing Magazine - Design Disease - Blog and Web - Dilectio Blogger Template