ABSURD

Gudhel saat ini sedang membangun sebuah warung makan kecil di perkarangan depan rumahnya yang baru di Manang. Agar suasana pedesaan di daerah sekitarnya menjadi lebih regeng, lebih ramai, begitu katanya saat ditanyai tentang alasan. Pembangunan warung sudah hampir selesai ketika kami berbincang sambil menikmati sore. Sore yang indah tentu saja. Bau persawahan yang khas. Suara cenggeret. Lanskap persawahan yang membentang luas. Ufuk barat seperti sedang dibakar merahnya matahari. Awan – awan kelabu seperti asap besar yang membumbung. Pecikan apinya membuat langit tertoreh oleh warna lembayung. Sedikit kebahagian di senja hari.

Tapi perasaan bahagia ini menjadi canggung ketika tema perbincangan kami adalah tentang para petani padi. Pola tanam yang salah kaprah. Harga yang terpaut jauh antara gabah dan beras. Kebijakan yang salah. Sistem pengijon. Bantuan mesin penggiling yang tak pernah sampai ke tangan petani tapi malah dimiliki oleh para pengijon. Bureaupathology yang akut. Pungli di jalanan. Sistem kios beras di pasar tradisional. Belum lagi tentang masalah antri. Petani padi adalah manusia antri. Membajak sawah dia antri. Antri benih. Antri pengairan. Antri pupuk. Antri segala macam.

Inikah perasaan absurd itu ? Bagi Albert Camus kebahagiaan dan absurditas adalah dua putra dari satu bumi. Keduanya tidak terpisahkan. Salah bila dikatakan bahwa kebahagiaan lahir dari penemuan absurd. Bisa juga terjadi bahwa perasaan absurd ditimbulkan oleh kebahagiaan. Itukah yang dirasakan oleh para petani padi ? Mungkinkah para petani padi merupakan gambaran dari sosok manusia absurd ?

Bagi Camus, aktor pada umumnya bukanlah manusia absurd. Melainkan manusia melalui jalan hidup absurd. Manusia absurd mulai pada saat manusia sehari – hari berhenti, ketika dia tidak lagi mengagumi sebuah permainan drama. Masuk dalam kehidupan – kehidupan itu, merasakannya dalam keanekaragamannya. Dia benar – benar memainkan hidup itu. Mungkinkah para petani adalah manusia absurd ? Berperan sebagai sang pemilik sekaligus budak. Manusia ekonomi dan manusia antri. Yang marjinal dan mayoritas. Petani sebagai manusia absurd atau tidak, selayaknya para aktor belajar kepada para petani.
ditulis oleh :
Hendro Prabowo

0 komentar:

Copyright © 2008 - Teater Sopo - is proudly powered by Blogger
Smashing Magazine - Design Disease - Blog and Web - Dilectio Blogger Template