Dramatic Reading Naskah "Dala" di Balai Soedjatmoko



“Ini merupakan pengalaman pertama saya melakukan dramatic reading. Dan ternyata membaca itu lebih sulit daripada mementaskan di atas panggung.”, ungkap Reza. Dan ketika mendengar pernyataan Reza tadi, Mas Antok (salah satu staff di Balai Soedjatmoko) menjawab, “Bukankah sebelum pentas itu juga harus membaca naskah terlebih dulu?”, dan seketika itu orang-orang yang hadir di Balai Soedjatmoko tertawa.

Itulah tadi cuplikan kisah tentang dramatic reading yang dilakukan oleh teman-teman Teater SOPO pada tanggal 8 September 2012 lalu di Balai Soedjatmoko, Solo. Teater SOPO mendapat kesempatan untuk ber-dramatic reading karena diundang oleh teman-teman Balai Soedjatmoko. Balai Soedjatmoko sebagai salah satu ruang public yang mengapresiasi seni dan budaya, memang menjadikan dramatic reading sebagai salah satu agenda rutin mereka. Ini ditujukan agar seni perteateran lebih dikenal oleh masyarakat. Dan masyarakat lebih tahu apakah fungsi naskah itu dan apa yang melatarbelakangi pembuatan naskah tersebut, karena di setiap naskah pasti tersimpan keunikan-keunikannya tersendiri. Keunikan-keunikan itulah yang dicoba diungkap dalam dramatic reading.

Pada kesempatan itu, Teater SOPO mengangkat naskah “Dala”, karya Hendro Prabowo. Sebuah naskah yang pernah dipentaskan dalam Bikin Bikin XVII tahun lalu, yang disutradarai oleh Surya Nugraha. Berbeda dengan Pentas Bikin-Bikin XVII yang menggunakan full artistic dan pemain memerankan tokohnya dengan acting di atas panggung, konsep dramatic reading adalah “hanya” membaca naskah dengan diberi penjiwaan/ekspresi, dan tanpa memerlukan full artistic atau act di atas panggung. Kami kemarin sebenarnya juga act, tapi hanya di balik meja dan dalam posisi duduk.

Naskah “Dala” adalah sebuah naskah roman. Tapi jangan harap ada kemesraan sepasang kekasih bernama Dala dan Dyah Nala yang menghiasi setiap sudut naskah ini ala FTV. Malah dalam naskah ini, roman yang ada malah menjadi sebuah horror yang berhasil melumat habis romansa tersebut. Horor yang diciptakan oleh para hantu yang sedang meneror Pucangarum (tempat tinggal Dala) dan Semarum (tempat tinggal Dyah Nala). Pada saat rasa rindu itu tercipta akibat sepasang kekasih yang saling mencintai, di mana rindu mereka seakan-akan sudah tak bisa ditahan lagi dan hendak meledak seperti kawah gunung berapi, menyebabkan segala nasehat, anjuran dan logika tidak bisa diterima padahal malam begitu mencekam. Akhirnya tekad, keberanian dan cintalah yang mengusir semua ketakutan yang disebabkan dari terror para hantu. Dala dan Dyah Nala akhirnya bertemu, tapi pertemuan mereka terasa singkat karena terror itu menghampiri mereka dalam perwujudan sosok Kolor Ijo. Tak ada cinta yang abadi dan setiap pertemuan pasti ada perpisahan.  Dala yang mencintai Dyah Nala, harus terpisah ruang, waktu dan dimensi. Karena Dala akhirnya harus menyerah pada takdir kematiannya. Kematian yang ironis karena nyawanya dihabisi di tangan Kolor Ijo. Sama ironisnya dengan Dala, Dyah Nala yang telah kehilangan kekasihnya harus menanggung beban ganda setelah tubuhnya dijamahi oleh kebiadaban Kolor Ijo. Dan benih haram terpaksa ia kandung dan ia lahirkan. Kebahagiaan yang dulunya diharapkan akhirnya harus menjadi akhir yang tragis.

Dramatic Reading dimuat di Harian Umum Solopos, 9 September 2012

0 komentar:

Copyright © 2008 - Teater Sopo - is proudly powered by Blogger
Smashing Magazine - Design Disease - Blog and Web - Dilectio Blogger Template